TW-06


kembali | lanjut

TW-06SAPU ANGIN adalah seorang yang menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya. Namun melawan Bramanti yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, terasa, bahwa ia masih harus berbuat banyak sekali pertimbangan-pertimbangan. Ternyata ia tidak dapat berkelahi sambil tertawa-tawa seperti yang sering dilakukannya. Kemudian berteriak-teriak didesaknya lawannya sampai ke dalam suatu keadaan yang paling sulit. Dengan darah yang dingin, ia selalu membunuh lawannya pada saat lawannya sudah tidak mampu melawan lagi. Perlahan-lahan dihujamkannya ujung pedangnya di dada atau leher lawannya itu. Bahkan kadang-kadang dibiarkannya lawannya tidak segera mati. 

Tetapi kali ini yang dihadapi agaknya lain dari yang pernah terjadi. Ia sama sekali tidak sempat tertawa dan apalagi berteriak-teriak. Bahkan setiap usahanya untuk menguasai lawannya selalu tidak berhasil. 

Sapu Angin menggeram. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Suatu hal yang jarang-jarang dilakukannya. 

Tetapi Putut Sabuk Tampar itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Pedang pendeknya melibat lawannya dari segala arah, sehingga pedang itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan mata pedang yang terbang disekitarnya.

Bukan saja Sapu Angin yang menjadi keheranan dan bahkan kecemasan menghadapi lawannya. Namun yang lainpun mengalami tekanan yang serasa menjadi berat. Wanda Geni yang meskipun masih di atas punggung kuda, namun ia seolah-olah telah terkurung dalam satu lingkaran yang sempit. Semakin lama kudanya bahkan menjadi semakin liar dan sulit dikendalikan.

Meskipun demikian, agaknya kebiasaan yang kasar dan liar dari orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu mempunyai pengaruh juga di dalam perkelahian itu. Perlakuan yang tidak terduga-duga, kadang-kadang membuat anak-anak muda Candi Sari menjadi ngeri. 

Ketika perkelahian itu berlangsung semakin seru, maka mulailah senjata-senjata mereka bersentuhan. Tidak saja senjata membentur senjata. Tetapi kadang-kadang terdengar juga keluhan tertahan. Anak-anak muda Candi Sari yang belum berpengalaman itu menjadi bingung ketika mereka melihat kawan mereka mulai dibasahi oleh darah. 

Dada mereka berguncang ketika mereka mendengar seorang kawannya yang lain justru memekik tinggi. Pedang seorang pengikut Panembahan Sekar Jagat telah menyambar pundaknya. Tertatih-tatih ia terdorong surut. Hampir saja justru kuda lawannya menginjaknya, apabila ia tidak segera ditarik oleh kawannya. Namun dalam pada itu orang berkuda itu sempat sekali menggoreskan pedangnya. Anak muda yang sedang menolong, melepaskan kawannya dari injakan kuda itu, mengaduh pula. Punggungnya telah tergores oleh pedang lawannya dan membuat luka yang panjang. Darahnya segera mengalir menitik membasahi tanah. Tanah kelahiran. 

Namun ternyata hal itu telah mempengaruhi keberanian anak-anak Candi Sari. Pada dasarnya orang-orang Panembahan Sekar Jagat telah merupakan hantu bagi mereka. Kini mereka melihat beberapa orang kawan-kawan mereka itu terluka. Dengan demikian, maka kengerian yang sangat telah merambat membelit hati. 

Tambi yang melihat gelagat itu menjadi cemas. Anak-anak itu tidak boleh patah pada saat mereka mulai. Karena itu, untuk menambah gairah perlawanan, Tambi berteriak, “Jangan beri kesempatan mereka melarikan diri.” 

Tetapi terdengar salah seorang dari mereka menjawab, “Lihat. Korban telah berjatuhan di kalangan kalian. Apakah kalian masih dapat berteriak dan mengatakan bahwa kami akan melarikan diri?” 

Tambi menggeram. Ia menyerang lebih dahsyat lagi. Karena itu maka perkelahian pun menjadi semakin lama semakin cepat. 

Halaman rumah dan kebun disebelah menyebelah rumah Bramanti menjadi seakan-akan dibajak. Tanaman-tanaman kecil dan tumbuh-tumbuhan perdu menjadi hancur karenanya. Bukan saja kaki-kaki mereka yang bertempur, tetapi telapak kaki-kaki kudalah yang membuat tanah itu menjadi teraduk. 

Semakin lama, maka hati anak-anak muda Candi Sari menjadi semakin sempit. Hanya beberapa orang saja yang masih melawan dengan penuh keberanian. Temunggul, Panjang dan beberapa orang lagi justru menjadi semakin marah, dan mereka berusaha sekuat-kuat tenaga mereka untuk menahan lawannya. 

Ki Jagabaya pun menjadi marah bukan kepalang. Disentakkannya segenap kekuatannya untuk menahan keganasan lawannya. Ketika ia menyerang sejadi-jadinya, maka anak-anak muda yang membantunya, mencoba untuk menjatuhkan kudanya. Meskipun sebenarnya bukan mereka maksudkan, namun agaknya salah seorang pengawal telah menusuk lambung kuda itu selagi penunggangnya sibuk menangkis serangan Ki Jagabaya. 

Tusukan itu ternyata telah membuat kuda itu meloncat tanpa dapat dikendalikan lagi. Dengan demikian, maka penunggangnya menjadi kehilangan keseimbangannya. Sebelah tangannya mencoba menguasai kendali kudanya, sedang tangan yang lain berusaha menangkis serangan Ki Jagabaya. 

Tetapi dengan demikian, perhatiannya sudah terbagi. Ketika Ki Jagabaya, menyerangnya sekali lagi dengan ayunan yang kuat, maka penunggang kuda itu tidak lagi mampu bertahan. Benturan yang terjadi telah melemparkannya beberapa langkah dari kudanya, tepat ketika kuda itu meronta sekali lagi.

Nasib orang itu memang terlampau malang. Begitu ia berusaha melenting berdiri, maka kudanya yang seakan-akan menjadi gila karena lukanya telah melanggarnya, sehingga sekali lagi ia terbanting jatuh.

Selanjutnya, orang itu tidak mendapat kesempatan bangkit untuk selama-lamanya. Sebilah pedang telah menghujam ke dadanya langsung menyentuh jantungnya. 

Yang terdengar adalah sebuah pekik yang pendek. Kemudian diam. 

Wanda Geni dan Sapu Angin yang mendengar pekik itu masih sempat melihat salah seorang anak buahnya menggeliat. Kemudian mereka pasti, bahwa orang itu telah mati. 

Kemarahan yang memuncak telah membakar dadanya. Dengan demikian maka mereka pun segera mengerahkan kemampuan yang ada pada mereka untuk segera mengakhiri pertempuran. 

Tetapi lawan-lawan mereka pun ternyata berbuat serupa. Mereka tidak membiarkan diri mereka terlibat oleh kemarahan lawan. Sehingga mereka pun telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing. 

Dalam pada itu, di dalam rumah, dibalik pintu pringgitan, ibu Bramanti duduk bersimpuh berpegangan tiang. Kepalanya yang tertunduk menyimpan berbagai macam persoalan dan hatinya pun telah dihentakkan oleh peristiwa yang terjadi di halaman itu. 

“Bramanti,” desisnya. 

Nyai Pruwita telah dilanda oleh kecemasan yang dahsyat. Semula ia mencoba mempercayakan keselamatan anaknya kepada Ki Tambi. Namun keadaan berkembang semakin panas, sehingga hampir saja ia berlari keluar. Terbayang di rongga matanya, betapa ayah Bramanti dahulu berkelahi melawan beberapa orang, sehingga akhirnya suaminya itu terkapar tidak bernyawa lagi. Tak seorang pun menaruh belas kasihan kepadanya, dan bahkan sebagian terbesar dari orang-orang Kademangan ini merasa bersyukur karenanya. 

Dan tiba-tiba ia melihat orang-orang Kademangannya mendatangi anak laki-lakinya. Anak Pruwita yang terbunuh itu. 

Namun sebelum ia meloncati pintu, terdengar suara derap kaki-kaki kuda memasuki halamannya. Dan sekali lagi ia mendengar nama anaknya dipanggil-panggil. 

Betapa gemetar kaki dan tangannya, tetapi ia mencoba untuk mengintip apa yang telah terjadi di halaman. 

Namun yang terjadi agaknya telah membingungkannya. Sampai pada suatu saat, di halaman itu telah terjadi perkelahian. Tetapi perkelahian yang terjadi justru antara anaknya bersama-sama orang-orang Kademangan ini, melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat. 

Semula hati orang tua itu dicengkam oleh kecemasan yang memuncak. Ia tahu, betapa kuat dan buasnya orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai utusan Panembahan Sekar Jagat. Namun lambat laun terungkatlah perasaan yang telah puluhan tahun terpendam di dalam sudut hatinya yang paling dalam. 

Sekilas teringat olehnya, bagaimana ia membantu suaminya yang dahulu mencoba membina Kademangan ini. Suaminya yang saat itu menjadi seorang Demang. Dan sebagai istri seorang Demang, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari setiap usaha suaminya untuk kepentingan Kademangannya. Dan ia pun telah ikut serta dengan penuh kebanggaan.

Tetapi kebanggaan itu telah hancur. Hancur dan terpendam untuk waktu yang lama, sejak ia kawin dengan suaminya yang kedua, yang semula merupakan laki-laki kebanggaannya pula. 

Namun, pada saat ia melihat Bramanti berkelahi melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, kebanggaan yang telah hampir terpendam sama sekali itu tiba-tiba terungkat. Seolah-olah ia melihat anaknya sedang memimpin orang-orang Kademangan ini seperti suaminya yang pertama, yang selalu berdiri di paling depan. 

Tetapi sebagai seorang ibu, ia sangat mencemaskan nasib anaknya itu. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat bukanlah orang-orang yang baru mengenal senjata kemarin sore. Sedang anaknya masih terlalu muda untuk memiliki pengalaman yang cukup. 

Karena itu, ia berada di dalam kebingungan. Sekali-kali ia ingin melihat apa yang terjadi. Kadang-kadang ia mencoba mengintip dari celah-celah pintu rumahnya. Namun kemudian ia memejamkan matanya. Perasaan-perasaan yang mengendap dan bergumpal-gumpal tersimpan di dalam dadanya serasa bersama-sama muncul ke permukaan. Kebanggaan seperti yang pernah didambakannya atas suaminya yang pertama, namun juga kecemasan apabila terbayang cara kematian suaminya yang kedua. 

Dengan demikian maka Nyai Pruwita itupun kemudian duduk saja serasa membeku bergayut pada tiang di sisi pintu pringgitan. 

Suara dentang senjata, ringkikan kuda dan kadang-kadang pekik seseorang, setiap kali terasa tergores didinding jantungnya, membuat luka-luka yang pedih. 

Namun bayangan dari akhir pertempuran yang terjadi dihalaman itu, agaknya menjadi semakin lama semakin nyata. Jumlah orang-orang Sapu Angin menjadi kian berkurang. Dua orang telah terbunuh, meskipun di pihak Kademangan Candi Sari juga jatuh beberapa orang korban yang terluka. Tiga orang terluka parah, dan empat orang masih mampu menggenggam senjata mereka untuk melawan. 

Kematian dua orang anak buah Sapu Angin telah membakar hati para pengawal. Keadaan sudah terlanjur menjadi demikian buruknya, sehingga tidak ada gunanya lagi untuk berpikir yang lain, daripada berkelahi mati-matian. 

Sapu Angin menggeram ketika, sekali lagi ia melihat seorang anak buahnya terpelanting. Tetapi ia masih sempat bangun dan mengadakan perlawanan di atas tanah, meskipun dari punggungnya telah mengalir darah. 

Namun lebih dari peristiwa itu semua, yang paling membakar jantungnya adalah lawannya. Seorang anak muda yang bernama Bramanti dan menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya bahwa ia akan bertemu dengan anak sekuat dan setangguh itu. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup, belum pernah Sapu Angin bertemu dengan anak muda yang demikian tangguhnya. 

Benturan-benturan senjata mereka telah memperingatkan Sapu Angin, bahwa kekuatan Bramanti mampu mengimbanginya. Kecepatan bergerak dan kemampuan mengatasi setiap kesulitan, benar-benar telah membuat Sapu Angin menjadi heran. 

Tetapi ia telah bertekad untuk menghancurkan lawannya. Itulah sebabnya maka ia tidak mempunyai perhitungan lain, selain berkelahi terus sampai Putut Sabuk Tampar itu terbunuh. 

Namun dengan demikian, Sapu Angin tidak mau melihat kenyatan. Lawannya yang masih sangat muda itu ternyata tidak dapat dibunuhnya dengan mudah. Bahkan semakin lama semakin terasa betapa beratnya melawan Putut Sabuk Tampar. Pedang pendek Bramanti ternyata terlampau berbahaya bagi lawannya. Bahkan setiap kali pedang itu berdesing dekat didepan telinga Sapu Angin. Betapa ia mengerahkan tenaganya, namun pedang pendek itu selalu terbang berputar-putar di sekitarnya.

Sapu Angin menggeretakkan giginya. Dengan darah yang mendidih ia merendah. Kini serangannya dipusatkan dibagian bawah tubuh lawannya. Setiap kali senjatanya terayun menyambar lutut, kemudian pergelangan kaki. Sebelum Bramanti menampakkan kakinya ia menghindari senjata itu, Sapu Angin telah berputar di atas telapak tangannya, sedang sebelah kakinya menyambar lambung Bramanti. 

Bramanti menggeretakkan giginya. Cara ini agaknya membuatnya terdesak. Namun, sebagai seorang yang mempunyai cukup ilmu, maka Bramanti pun harus menyesuaikan diri. 

Kini Bramanti justru berloncat seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Dengan garangnya, pedangnya berputar-putar di atas kepala Sapu Angin yang selalu merendah di atas lututnya. 

Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Keringat mereka seperti terperas dari lubang-lubang kulit membasahi pakaian yang melekat ditubuh mereka. 

Dan Sapu Angin masih saja mencoba mencari kelemahan di bagian bawah tubuh Bramanti. Senjatanya dan kakinya bergantian menyambar-nyambar, tanpa memberi kesempatan kepada Bramanti untuk tegak barang sekejappun. 

Tetapi meskipun Bramanti harus melonjak-lonjak seperti berdiri di atas bara, namun pedang pendeknya pun tidak kalah dahsyatnya menyerang kepala lawannya. Seperti seekor lebah yang buas, beterbangan dengan lincahnya, mencari kesempatan untuk menyengat kepala itu. 

Di bagian lain dari perkelahian itu pun menjadi semakin nyata bahwa anak-anak Kademangan Candi Sari akan segera menguasai keadaan. Lawan mereka menjadi semakin sedikit. 

Tiba-tiba perkelahian itu seolah-olah terhenti, ketika mereka mendengar Sapu Angin mengumpat keras-keras. Sekali ia berteriak, kemudian wajahnya menjadi tegang. Matanya seakan-akan meloncat dari pelupuknya, sedang tubuhnya menjadi gemetar. 

Mereka terperanjat ketika mereka melihat dari sela-sela jari tangan Sapu Angin yang menekan dadanya, meleleh darahnya yang merah, semerah matanya yang memancarkan kemarahan tiada taranya. 

“Setan kau, kau,” suaranya terputus-putus. “Jangan lari. Aku cincang kau sampai lumat.” 

Dihadapan Sapu Angin, beberapa langkah daripadanya, Bramanti berdiri seolah-olah membeku. Di tangannya tergenggam pedang pendeknya yang telah diwarnai oleh darah. 

Sapu Angin terhuyung-huyung maju selangkah. Tetapi darah yang meleleh di sela-sela jari tangannya menjadi semakin banyak. Akhirnya tubuhnya pun roboh menelungkup di atas tanah. 

Tetapi Sapu Angin masih mencoba mengangkat wajahnya. Dengan senjata yang masih digenggamnya erat-erat ia menggeram. “Kubunuh kau anak iblis. Kubunuh kau,” 

Dan kepala itu pun segera terkulai lemah. Ketika kepala itu sekali lagi bergerak, maka terputuslah nafas Sapu Angin yang terakhir. 

Kematian Sapu Angin ternyata telah mengejutkan setiap orang di dalam pertempuran itu. Baik orang-orang Kademangan Candi Sari, maupun orang-orang Panembahan Sekar Jagat yang masih hidup. Namun selagi mereka terpukau oleh mata pedang Bramanti yang kemerah-merahan, dua ekor kuda yang membawa Wanda Geni dan seorang kawannya telah menyelinap keluar dari regol dan berlari kencang seperti di kejar hantu. Derap kaki-kaki kuda itu seolah-olah telah menggema memenuhi padukuhan. 

Ternyata mereka telah melarikan diri, sambil meninggalkan korban di antara kawan-kawan mereka. Salah satu dari korban itu adalah Sapu Angin sendiri. 

Dalam kebekuan yang panas itu, Bramanti merasa sebuah sentuhan dibahunya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Ki Tambi tersenyum kepadanya. Katanya, “Pundakmu terluka Bramanti?”

Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia mengamati pundaknya dan merabanya, terasa darah telah membasahi telapak tangannya. Barulah kemudian terasa luka itu menjadi pedih. 

“Mungkin kau tidak merasa, karena kau terlampau memusatkan segenap kemampuan, pikiran dan getar di dalam dirimu untuk menghadapi Sapu Angin. Ternyata kau mampu mengalahkannya.” 

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. 

“Ternyata orang-orang Panembahan Sekar Jagat dapat juga kita lawan, meskipun kita harus minta bantuan dari Resi Panji Sekar, dengan meminjam seorang Pututnya yang bernama Sabuk Tampar.” 

Bramanti tidak menjawab. 

“Semua mata sekarang tertuju kepadamu Bramanti. Kau tidak dapat lagi berpura-pura seperti seekor anak kambing yang lemah dan cengeng. Kau adalah anak harimau yang akan tumbuh menjadi harimau juga.”

Bramanti masih belum menjawab. Hanya sekali-kali tangannya mengusap luka dipundaknya yang semakin terasa pedih. 

“Bahkan dugaanku benar,” terdengar sebuah suara yang lain, yang ternyata adalah suara Panjang. “Sejak aku melihat jalur merah di dadamu, sesaat setelah aku berkelahi melawan harimau itu aku sudah bercuriga. Tetapi kau selalu mengelak.” 

“Apa maksudmu Panjang?” bertanya Suwela. 

“Kau ingat orang yang menolong kita di masa pendadaran?” 

Suwela mengerutkan keningnya. 

“Ketika tanpa kami ketahui, kami harus berhadapan dengan dua ekor harimau?” 

Suwela menganggukkan kepalanya. 

“Kalau tidak ada seseorang yang menolong kita waktu itu, kita tidak akan dapat ikut didalam pertempuran ini.” 

“Maksudmu, yang menolong kita waktu itu Bramanti?” 

“Ya.” 

Suwela mengerutkan keningnya. Dipandanginya Bramanti yang berdiri tegak seperti tonggak. 

Dada Suwela itu menjadi berdebar-debar. Bramanti yang berdiri dihadapannya ini serasa sama sekali bukan Bramanti yang pernah dilihatnya, yang bahkan pernah dilecutnya di arena tanpa melawannya sama sekali. Tetapi Bramanti yang sekarang adalah Bramanti yang perkasa, dengan sebilah pedang yang telah dibasahi oleh darah lawannya. 

Namun tiba-tiba keheningan yang sejenak itu telah dipecahkan oleh suara Nyai Pruwita yang berlari-lari keluar dari pringgitan. 

Bramanti berpaling. Dilihatnya ibunya berlari kearahnya. Dan sebelum ia beranjak, maka ibunya telah memeluknya sambil menangis. 

“Kau selamat Bramanti.” 

“Aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa ibu.” 

“Kau luar biasa anakku. Kau dapat mengatasi lawanmu yang tangguh. Kau telah memberi aku kebanggaan seperti masa-masa lampau, semasa aku masih diperlukan oleh orang-orang Kademangan ini.” 

Bramanti tidak menjawab, tetapi dadanya berdesir. 

“Kau telah berbuat sesuatu untuk Kademangan ini anakku. Kademangan yang telah dibina berpuluh-puluh tahun. Mudah-mudahan bermanfaat bagi masa mendatang,” ibunya berhenti sejenak, lalu, “Bersyukurlah bahwa kau telah diselamatkan oleh Kuasa-Nya. 

“Ya ibu,” jawab Bramanti. 

“Nah Nyai,” berkata Ki Tambi. “Bukankah anakmu tidak apa-apa.” 

Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilepaskan-nya anaknya perlahan-lahan.

Namun kekakuan masih juga mencengkam halaman rumah Bramanti. Kemenangannya itu ternyata telah mengejutkan sekali. Terutama bagi para pengawal. Setelah mereka kehilangan lawan masing-masing, maka kini mereka sempat menyadari keadaan. Mereka sempat membuat pertimbangan tentang Bramanti yang ternyata telah berhasil membunuh Sapu Angin.

Temunggul, pimpinan para pengawal, seakan-akan membeku ditempatnya. Kawannya yang terjerumus ke dalam tebing di dekat gerojogan bahkan telah menggigil ketakutan, karena apabila dikehendaki, maka Bramanti pasti dapat berbuat apa saja atasnya. 

Bahkan Ki Jagabaya pun menjadi termanggu-manggu menanggapi keadaan yang terasa aneh baginya. 

Dalam kebekuan itu terdengar suara Ki Tambi, “He, kenapa kalian seakan-akan telah berubah menjadi patung batu? Kita telah memenangkan perjuangan kali ini. Kita harus bergembira, bahwa ternyata kita pada suatu saat masih dapat bangkit sebagai pengawal Kademangan kita ini yang sebenarnya. Bukan sekadar pendadaran di arena, berburu harimau, menundukkan kuda liar, tetapi tidak berbuat sesuatu yang terasa manfaatnya langsung bagi rakyat Kademangan ini. Dan sekarang kita sudah berbuat.” 

Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka seakan-akan masih saja membeku ditempat masing-masing. 

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling halaman sambil berdesis, “Dimana Ki Demang?” 

Semua mata pun kemudian mencari kesekitar halaman itu. Tetapi tidak seorang pun yang melihatnya. 

“Ki Demang harus melihat kemenangan ini. Ki Demang harus melihat, bahwa orang yang bernama Sapu Angin pun dapat kita kalahkan dan terbunuh pula oleh Bramanti.” Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, “Dan kita pun sadar, bahwa lain kali mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri akan datang ke Kademangan ini. Tetapi tidak mengapa. Kita harus harus menyusun pertahanan yang lebih baik dan rapi, sehingga kita akan dapat melawannya dengan baik.” 

Tidak seorang pun yang menyahut, dan tidak seorangpun yang beranjak dari tempatnya. 

“Hem,” Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Kalian masih terpesona melihat kemampuan Bramanti yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Jangan cemas. Ia tidak akan berbuat apapun. Meskipun kini kalian mengetahui, bahwa Bramanti sebenarnya bukan anak kambing yang cengeng, tetapi ia adalah seekor harimau yang garang.” 

Wajah-wajah para pengawal pun menjadi tegang. Apalagi Temunggul. 

“Aku menjamin, bahwa Putut Sabuk Tampar tidak akan berbuat apapun atas kalian,” sambung Ki Tambi. “Bukankah kalian kini menjadi cemas, bahwa Putut ini akan melepaskan sakit hatinya atas perlakuan kalian? Atau bahkan kalian mencemaskannya, bahwa ia akan membalas dendam atas kematian ayahnya? Tidak. Aku tidak yakin.” 

Ketika Ki Tambi memandang wajah Bramanti, anak itu menundukkan kepalanya. 

“Bahwa ia telah berpura-pura selama ini, adalah suatu usaha daripadanya untuk menjauhkan segala prasangka buruk tentang pembalasan dendam itu. Kalau ia mau, maka semua sudah terjadi. Bukan sekadar menjerumuskan seseorang dari atas tebing di gerojogan. Itu adalah pekerjaan anak-anak. Sedangkan orang yang bernama Sapu Angin inipun dapat dikalahkannya,” Ki Tambi berhenti sejenak lalu, “Nah, apakah kalian menyadarinya?” 

Perlahan-lahan Ki Tambi melihat beberapa kepala mengangguk-angguk. Ki Jagabaya yang mendengarkan kata-kata Ki Tambi itu dengan mulut ternganga, tiba-tiba melangkah mendekati Bramanti sambil berkata, “Aku minta maaf Bramanti.” 

Bramanti menarik nafas. Jawabnya, “Kita sama-sama bersalah Ki Jagabaya. Karena itu marilah sama-sama kita lupakan.”

“Terima kasih. Kau memang anak yang baik. Jauh berbeda dengan ayahmu dahulu.” 

Dahi Bramanti berkerut. Tetapi ia tahu, bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang berhati terbuka. Ia mengatakan apa yang ingin dikatakannya.

“Nah,” berkata Ki Jagabaya kepada anak-anak muda pengawal Kademangan. “Seharusnya kalian pun minta maaf kepadanya. Aku pernah melihat seseorang menggait kakinya di halaman Kademangan sehingga anak ini jatuh tertelungkup. Kemudian di arena, seseorang dengan sombongnya melecutnya meskipun anak itu tidak melawan. Yang terakhir adalah apa yang baru saja kita lakukan. Beramai-ramai datang ke halaman ini seperti akan menangkap pencuri. Ayo terutama, kau Temunggul. Kaulah yang membuat ceritera tentang balas dendam ini. Bagaimana?” 

Terasa darah Temunggul menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia harus mengakui kenyataan, betapapun pahitnya. Terlebih pahit lagi apabila dikenangnya hubungan Bramanti dengan Ratri, yang kini pasti tidak dapat dihalangi lagi. 

“Apa boleh buat,” desisnya. “Ternyata Ratri pun sama sekali tidak menanggapi perasaannya. 

Dengan langkah yang berat Temunggul maju mendekati Bramanti. Dengan suara yang bergetar ia berkata perlahan-lahan, “Maafkan semua kelakuan-kelakuanku Bramanti.” 

“Lupakanlah semua. Kita bersama-sama mencoba untuk membuat lembaran baru di dalam pergaulan di Kademangan ini. Bukan saja pergaulan di antara kita, tetapi juga pergaulan keluar. Kita harus berusaha, bahwa tidak ada orang lain yang dapat mengganggu dengan cara apapun.” 

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku sependapat.” 

“Pengalaman hari ini adalah cambuk untuk mendorong kebangkitan kita bersama. Kita harus bangun dan berkuasa di rumah kita sendiri.” 

Sekali lagi Temunggul mengangguk, “Baiklah,” jawabnya. “Aku bersedia.” 

“Nah,” berkata Ki Tambi kemudian, “Kita akan menyampaikannya kepada Ki Demang. Kita harus mencarinya. Mudah-mudahan ia tidak diterkam oleh Wanda Geni yang sedang melarikan diri itu.” 

“Baik Ki Tambi,” jawab Bramanti. “Tetapi aku akan membersihkan halaman rumah ini. Kita masih harus mengubur mayat-mayat ini, dan mengobati setiap luka. Juga lukaku sendiri.” 

“O,” Ki Tambi mengangguk-anggukkan,” sebaiknya memang begitu. Marilah anak-anak, kita bersihkan halaman ini.” 

Maka para pengawal yang tidak tersentuh sama sekali oleh senjata, segera membersihkan halaman Bramanti. Mereka yang terluka pun segera diobati. Namun tampaklah bahwa wajah-wajah mereka kini menjadi cerah. Secerah kepercayaan kepada diri sendiri telah mulai merayapi jantung para pengawal itu. Ternyata bahwa Wanda Geni dan bahkan Sapu Angin adalah manusia-manusia biasa yang terdiri dari kulit, daging, tulang dan darah. Mereka sama sekali tidak kebal oleh senjata. Dan mereka sama sekali tidak bernyawa rangkap.Hampir sehari anak-anak muda Candi Sari sibuk membersihkan halaman rumah Bramanti yang digenangi oleh darah kawan dan lawan. Dan belum sehari, berita tentang perkelahian yang menentukan itu telah tersebar.

“Bramanti, Bramanti anak Nyai Pruwitakah yang dimaksud?” bertanya salah seorang kepada tetangganya yang berceritera tentang Bramanti. 

“Ya,” Bramanti itulah. “Huh, jadi anak penjudi yang terbunuh itu?”

“Ya, tetapi Bramanti bukan penjudi, pemabuk dan penipu licik. Ia justru telah berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi Kademangan ini. Seperti yang dikatakannya sendiri, bahwa ia ingin mencuci nama keluarganya yang cemar. Dan cara itulah yang dipilihnya. Sama sekali bukan cara yang kita cemaskan selama ini. Balas dendam.” 

“Belum tentu. Siapa tahu, sehari dua hari lagi ia mulai. Dan bagaimanakah anak yang telah dijerumuskannya di tebing itu.” 

“Temunggul lah yang bohong. Dan seandainya Bramanti benar-benar ingin membalas dendam, maka Dirga tua itulah yang pertama-tama akan mengalami akibatnya. Bagi Bramanti yang mampu membunuh Sapu Angin itu, maka Dirga sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi baginya. Bukankah Dirga lah yang merencanakan pembunuhan itu meskipun dengan meminjam seribu tangan orang lain.”

Keduanya pun kemudian terdiam sejenak. Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang kini mata mereka justru mulai terbuka, bahwa Bramanti sama sekali memang tidak ada niat untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya. Setiap kali ia berkata di dalam hatinya. “Bukan begitu caranya berbakti terhadap orang tua. Bukan mati dibalas dengan mati, darah di balas dengan darah. Tidak. Jika demikian maka seluruh permukaan bumi akan hangus dibakar oleh dendam. Tetapi ia mencoba berbakti kepada orang tua dengan jalan ini. Cinta kasih. Kepada sesama, kepada kampung halaman, kepada siapapun dan kepada apapun.

Orang-orang Kademangan Candi Sari mulai mempercayainya, justru ketika mereka mulai menyadari, bahwa Bramanti adalah seorang yang pilih tanding.

Setelah semuanya selesai, maka beberapa orang berusaha untuk menemui Ki Demang. Mereka menyangka bahwa Ki Demang pasti sudah pulang ke rumahnya. 

Dugaan itu memang benar. Ki Demang memang telah berada di Kademangan. Ia duduk tepekur seorang diri di pendapa. Keningnya masih basah oleh keringat, dan debar jantungnya pun masih belum pulih sewajarnya. 

Ketika Ki Demang melihat beberapa orang datang kepadanya segera ia berteriak. “He, kenapa kalian datang kemari? Apakah kalian menemui kesulitan-kesulitan. Tidak, pergi saja. Pergi sajalah. Aku sudah tidak mau ikut campur lagi.”

Tambi yang tertua di antara mereka yang datang ke rumah Ki Demang itu menjadi heran, sehingga justru karena itu, ia tidak segera menjawab. 

“Kalau mereka akan menumpas kalian, adalah salah kalian sendiri. Aku sudah memperingatkan, bahwa perlawanan itu sama sekali tidak menguntungkan. Tetapi kalian tidak mendengarkannya. Sekarang kalian berlari-lari mencari aku.” 

“Ki Demang,” berkata Tambi sareh. “Kami justru membawa kabar gembira bagi Ki Demang. Kali ini kami telah memenangkan perkelahian itu. Bahkan Sapu Angin telah terbunuh di medan. Bukankah hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi kita penduduk Kademangan Candi Sari?” 

“He, apa katamu? Sapu Angin terbunuh?” 

“Ya. Apakah pada saat itu Ki demang sudah tidak menyaksikannya lagi?” 

“Bohong. Kalian bermimpi. Sapu Angin tidak akan dibunuh oleh siapapun.” 

“Tetapi Sapu Angin telah mati.” 

“Tidak. Ia tidak mati. Kalian keliru. Ia baru pingsan dan ia pasti akan bangkit kembali.” 

“Kami telah menguburkannya.” 

Wajah Ki Demang tiba-tiba menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia berkata, “Siapakah yang berhasil mengalahkannya?” 

“Bramanti.”

“Bramanti?” mata Ki Demang terbelalak. Tetapi kemudian kepalanya menengadah. Wajah yang pucat itu tiba-tiba menjadi merah darah. Dengan suara gemetar ia berkata, “Kalian telah membuat suatu kesalahan yang besar sekali. Kematian Sapu Angin akan menjadi bencana yang tidak terelakkan bagi Kademangan ini.” 

Tambi menjadi semakin heran. Tanggapan Ki Demang sama sekali tidak seperti yang mereka harapkan. Bahkan agaknya pun Ki Demang telah menjadi sangat marah.

“Aku tidak menyangka,” Ki Demang melanjutkan, “Bahwa kalian dapat berbuat sebodoh itu. Apakah kalian sama sekali tidak membayangkan, bencana yang bakal menghancurkan Kademangan ini?” 

“Kenapa Ki Demang? Bukankah dengan demikian maka orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu justru tidak akan berani datang lagi ke Kademangan ini?” 

“O, alangkah bodohnya kalian,” Ki Demang berhenti sejenak, lalu “He, Ki Jagabaya. Apakah kau ikut pula?” 

“Ya. Aku telah ikut di dalam pertempuran itu. Aku menganggap bahwa jalan itu adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghentikan pemerasan yang masih saja berlangsung sampai saat ini.” 

“Kalian telah menjadi gila,” Ki Demang itu pun kemudian berdiri, “Apakah kalian tidak dapat membayangkan akibatnya?” 

Tidak seorang pun yang menjawab. 

“Besok atau lusa, sehari atau dua hari lagi, Kademangan ini akan lebur menjadi abu.” 

“Kenapa Ki Demang?” 

“Kalau Sapu Angin benar-benar sudah terbunuh, maka pasti Panembahan Sekar Jagat sendirilah yang bakal datang kemari.” 

“Kami sudah siap Ki Demang,” tiba-tiba terdengar suara menyahut. “Apapun yang bakal terjadi, namun adalah tugas yang paling mulia bagi kami adalah menyelamatkan tanah ini, Kademangan ini, dan siapapun yang sengaja memeras.” 

“Oh, kau itu Bramanti,” desis Ki Demang. “Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam dirimu, sehingga kau mampu melakukannya? Tetapi kau tidak menyadari bahwa karena perbuatanmu itu, besok atau lusa kau akan dicincang bersama setiap laki-laki dari Kademangan ini. Tetapi itu tidak berarti apa-apa seandainya kami tidak mengingat perempuan dan gadis-gadis yang kami tinggalkan. Apakah jadinya dengan mereka itu kelak?” 

Mereka yang mendengar kata-kata Ki Demang itu meremang. Sungguh mengerikan. Dan hal itu tidak mustahil bakal terjadi. 
Karena itu, satu dua dari antara mereka menjadi ragu-ragu. Apakah mereka sudah pada tempatnya berbangga atas kememangan ini. 

Namun dalam pada itu terdengar Bramanti menjawab. “Ki Demang. Seandainya benar demikian yang terjadi, memang, alangkah mengerikannya. Dan kami bersama inilah yang telah bersalah.” Bramanti berhenti sejenak kemudian, “Tetapi kami bukan patung-patung batu yang hanya dapat membiarkan Panembahan Sekar Jagat berbuat sekehendak hatinya. Kami mempunyai tenaga yang dapat kami pergunakan untuk mempertahankan diri. Kami akan bersama-sama menyusun suatu kekuatan untuk melawan Panembahan Sekar Jagat. Dan aku yakin, Panembahan Sekar Jagat pun adalah manusia biasa seperti kita. Kalau tidak ada seorang pun yang dapat melawannya seorang lawan seorang, maka kami, beberapa orang harus bergabung, untuk menghadapi Panembahan Sekar Jagat itu.” 

“Huh, kau adalah seorang yang pandai berkhayal,” jawab Ki Demang. “Kau sangka Panembahan Sekar Jagat itu apa? Ia adalah seorang Panembahan yang memiliki ilmu melampaui ilmu manusia biasa. Kalau kalian tidak percaya, baiklah. Marilah kita tunggu bersama-sama.”

“Baiklah Ki Demang,” jawab Bramanti. “Kita akan bersama-sama menunggu. Tetapi kepercayaan tentang Sapu Angin yang tidak dapat terkalahkan telah patah.” 

Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut. 

“Namun demikian,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya. “Terserahlah penilaian Ki Demang seterusnya. Barangkali Ki Demang mempunyai cara yang baik untuk melenyapkan kegelisahan ini?”

Bramanti menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Ki Jagabaya itu. Akibatnya mungkin akan justru menambah kegelisahan karena kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap Panembahan Sekar Jagat. Karena itu, untuk mengatasinya, maka Bramanti pun berkata lantang, “Tidak ada kegelisahan apapun Ki Jagabaya. Kalau Panembahan Sekar Jagat benar-benar akan datang, dan tidak seorang pun dan bahkan bersama-sama dapat melawannya, maka aku atas nama Putut Sabuk Tampar akan dapat mempersilahkan Resi Panji Sekar untuk secara langsung menghadapinya. Nah, bagi Resi Panji Sekar, Panembahan Sekar Jagat tidak berarti apapun juga.” 

Wajah Ki Demang yang merah menjadi semakin merah. Dan ia masih harus mendengar Bramanti berkata seterusnya. “Sapu Angin, orang kepercayaan dari Panembahan Sekar Jagat tidak dapat bertahan menghadapi kita semuanya. Nah, apakah kira-kira Panembahan Sekar Jagat tidak akan mengalami nasib yang sama? Apakah sebenarnya kelebihan Panembahan Sekar Jagat dari kita masing-masing.” 

Bibir Ki Demang menjadi gemetar. Untuk meyakinkan Bramanti ia berkata, “Panembahan Sekar Jagat itu tidak saja memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, tetapi ia mempunyai ilmu sihir yang tiada taranya. Ia dapat menciptakan apa yang tidak ada di dalam peperangan. Ia dapat memanggil seekor burung garuda dalam sekejap mata.” 

“He,” potong Bramanti. “Kalau begitu ada persamaan antara Panembahan Sekar Jagat dan Resi Panji Sekar. Resi Panji Sekar mempunyai ilmu yang serupa. Bukan saja burung garuda, tetapi Resi Panji Sekar dapat menciptakan petir dan guntur. Api dan hujan, gempa bumi dan bahkan ledakan gunung-gunung berapi.” 

Wajah yang merah itu menjadi semakin merah. Terdengar gigi Ki Demang gemeratak. Ia sadar, bahwa Bramanti tidak mempercayainya. Anak muda itu sama sekali tidak percaya akan kemampuan Panembahan Sekar Jagat seperti yang dikatakannya. 

Karena itu, maka ia pun menjadi kehabisan akal untuk menakut-nakutinya. 

“Ki Demang,” berkata Bramanti kemudian, “Kita tidak perlu cemas. Kita bahkan akan berangsur-angsur menjadi tenang dan tentram. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat pasti memerlukan waktu untuk berpikir apabila mereka akan datang kemari. Dan bahkan Panembahan Sekar Jagat sendiri.” 

“Terserah kepadamu,” geram Ki Demang. “Aku sudah memperingatkan. Dan kalian mengabaikan peringatanku.” 

Ki Tambi menarik nafas. Kemudian katanya, “Ki Demang. Marilah kita tanggung bersama-sama apa yang akan terjadi di Kademangan ini. Aku mengerti betapa hati Ki Demang sendiri selalu di gelisahkan oleh kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu sebagai seorang Demang. Namun demikian, sebagai penduduk Kademangan yang punya harga diri, seharusnya kita berani berbuat, apapun akibatnya, selama kita merasa, bahwa kita berjalan di jalan yang lurus dan benar.” 

“Persetan,” geram Ki Demang. “Aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan kalian.” 

“Itu tidak mungkin,” sahut Ki Jagabaya. “Selama kau masih menjadi Demang, maka kau masih tetap bertanggungjawab atas Kademangan ini. Kau kehendaki atau tidak.” 

Ki Demang membelalakkan matanya, namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya. Aku masih tetap sebagai seorang Demang. Aku masih tetap bertanggung jawab atas keselamatan Kademangan ini. Aku akan mencari cara yang dapat kita tempuh tanpa menghancurkan Kademangan ini seluruhnya. Aku akan mencari hubungan Panembahan Sekar Jagat. Aku akan minta maaf atas segala peristiwa yang telah terjadi. Namun mungkin kita harus mengorbankan satu atau dua orang dari antara kita yang dituntut oleh Panembahan Sekar Jagat. Namun dengan demikian seluruh isi Kademangan ini dapat tertolong.”

Tanpa sesadarnya Ki Tambi melangkah maju sambil berkata, “Tidak. Tidak ada hubungan apapun dengan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi dengan segala macam pengorbanan. Kita sudah berdiri berhadapan. Dan apa yang sudah kita mulai akan kita teruskan sampai tuntas. Kalau perlu, kita semua akan menjadi korban bersama-sama.”

“Kau memang gila Tambi. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri karena kau takut, bahwa di antaranya kaulah yang diminta oleh Panembahan Sekar Jagat.” 

“Seandainya demikian,” jawab Tambi. “Persoalannya sudah jelas. Aku akan melawan siapapun yang akan berusaha mengkhianati kami yang telah mulai dengan perjuangan ini.” 

“Terkutuklah kau Tambi,” bentak Ki Demang. “Kau tidak dapat berkeras kepala membela kepentinganmu sendiri. Kalau perlu kau memang harus dicincang, asalkan seluruh Kademangan ini selamat karenanya.” 

“Hanya pengecut yang akan berbuat demikian. Aku kira tidak ada di antara kita seorang pengecut serupa itu. Kita akan mati bersama-sama. Tetapi kalau kita berhasil, kita akan menikmati bersama-sama pula.” 

Ki Demang ternyata sudah tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga tubuhnya menggigil karenanya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, ia segera meloncat masuk ke dalam rumahnya. 

Sejenak kemudian, orang-orang yang ingin menemui Ki Demang itu menjadi termangu-mangu. Kini mereka seakan-akan berdiri tanpa tujuan di halaman Kademangan. 

“Aneh,” desis Ki Tambi. “Ki Demang yang sekarang ini sebenarnya bukan termasuk seorang pengecut. Aku kenal sejak masa mudaku. Ia adalah seorang pemberani, tangkas dan mampu mempergunakan otaknya. Itulah sebabnya maka akhirnya pilihan jatuh kepadanya sepeninggalan Ki Demang lama, meninggalkan anak yang sudah dewasa, maka saat itu masih kecil. Seandainya anak itu sudah dewasa, maka ia akan berhak menggantikan kedudukan ayahnya.” 

“Hanya mereka yang tidak cacad sajalah yang dapat menjadi seorang Demang,” justru Bramanti yang menyahut. “Kedudukan Demang tidak akan dapat dilintirkan kepada seorang penjahat.” 

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan cepat-cepat ia menjawab. “Ya begitulah. Namun sikap pengecut Ki Demang sekarang sangat mengherankan.” 

“Mungkin Ki Demang sangat dipengaruhi oleh kabar-kabar yang tidak benar tentang Panembahan Sekar Jagat, sehingga ia sangat dipengaruhinya,” jawab Bramanti. “Tetapi itu semua sama sekali bukan alasan untuk mencari orang lain dalam keadaan serupa ini.” 

Ki Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terkilas di dalam kepalanya betapa hubungan yang kurang baik telah membatasi kedua saudara laki-laki seibu tetapi berlainan ayah itu. Setiap kali Bramanti selalu menolak hubungan dengan Panggiring. Tentang apapun dan dalam keadaan apapun.

Maka katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi kita harus berusaha untuk selalu membesarkan hatinya,” kemudian kepada Ki Jagabaya ia berkata, “Itu adalah tugasmu Ki Jagabaya.” 

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku selalu bersedia berbuat apa saja. Tetapi Demangku itu seperti orang ketakutan saja, setiap ia menghadapi persoalan Panembahan Sekar Jagat.” 

“Cobalah menunjukkan kemampuan yang ada di Kademangan ini. Setiap kali. Dan cobalah meyakinkan, bahwa Panembahan Sekar Jagat pun adalah manusia biasa.” 

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Aku akan mencoba. Tetapi tidak sekarang. Aku pasti hanya akan dibentak-bentaknya saja.” 

“Ya. Kau harus dapat mencari waktu yang baik dan kesempatan yang baik pula.” 

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?” bertanya Tambi kemudian. 

Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tidak ada. Tetapi kita tidak boleh meninggalkan kewaspadaan.” 

“Tentu. Dan ini adalah tugasmu Temunggul,” sahut Tambi.

Temunggul yang sejak semula berdiam diri, bertanya. “Apakah tugas itu?” 

“Kau harus menyiapkan para pengawal. Sama sekali tidak boleh lengah. Untuk menghadapi kemarahan Sekar Jagat kita harus benar-benar bersiap. Kau harus menempatkan penjagaan di setiap lorong yang memasuki Kademangan ini dari segala penjuru. Mereka harus siap dengan tengara kentongan, misalnya. Setiap orang dari mereka yang melihat kedatangan orang-orang berkuda, mereka harus segera memukul tanda, sehingga kita akan segera dapat bersiap. Kita tidak akan membiarkan diri kita masing-masing diterkam seorang demi seorang,” Tambi berhenti sejenak, kemudian, “Demikian juga setiap orang yang pergi ke sawah. Mereka harus juga membawa kentongan-kentongan kecil.” 

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Nah, kau harus segera mengatur. Kita benar-benar dalam keadaan yang gawat. Kita tidak tahu, sampai kapan kita harus selalu berjaga-jaga. Mungkin kelak, apabila perselisihan antara Pajang dan Mataram telah selesai, dan salah satu daripada mereka menjadi mantap, kita akan segera mendapat perlindungan. Tetapi kita harus mempercayakan keselamatan kita saat ini kepada kemampuan kita sendiri.” 

Temunggul mengangguk-angguk pula.  “Bukankah begitu Ki Jagabaya.” 

“Ya, ya begitu. Aku akan selalu siap berada di Kademangan. Setiap kali terjadi sesuatu, kalian tidak usah mencari-cari aku.” 

“Baiklah,” berkata Ki Tambi. “Sekarang, sekarang kita semua dapat beristirahat.” 

“Sejak kapan aku harus berjaga-jaga?” berkata Temunggul. 

Tambi mengerutkan keningnya. Terasa tiba-tiba saja Temunggul yang selama ini seorang pemimpin yang cakap menjadi demikian bodoh dan ragu-ragu. 

“Sejak sekarang,” jawab Tambi.

“Sebab kemungkinan itu tidak dapat kita duga-duga. Kapankah pembalasan itu akan dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat.” 

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Aturlah para pengawal. Mulailah dari mereka yang terlampau payah di dalam pertempuran yang baru saja terjadi.” 

“Baik. Baik. Aku akan mengaturnya sekarang.” 

“Bagus. Hati-hatilah. Lawan kita bukan perampok-perampok kecil yang takut mendengar kentong titir-titir.” 

Temunggul mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja wajahnya menjadi kosong. Meskipun demikian hal itu dilakukannya juga. Beberapa orang yang datang kemudian setelah pertempuran selesai, segera mendapat tugas untuk menempati gardu-gardu di setiap lorong masuk. Mereka harus menyediakan alat-alat yang dapat memberikan tanda bahwa Kademangan ini akan dilanda bahaya. Selama ini penjagaan serupa itu tidak pernah dilakukan. Biasanya mereka membiarkan saja orang-orang Panembahan Sekar Jagat memasuki Kademangan ini. Bahkan mereka berebut dahulu menyingkir dan bersembunyi. Karena itu, maka untuk pertama kali, orang-orang yang ditempatkan digardu-gardu itu pun menjadi berdebar-debar.

“Bagaimana kalau tiba-tiba saja kita dicekik?” bertanya salah seorang penjaga kepada kawannya. 

“Kita harus waspada. Karena di gardu ini ada tiga orang, maka kita harus membagi tugas sebaik-baiknya. Setiap saat salah seorang dari kita harus mengawasi lorong ini sebaik-baiknya.” 

Demikianlah, maka setiap lorong masuk di Kademangan itu telah dijaga oleh tiga atau empat orang. Mereka harus selalu waspada. kalau tidak maka hidup mereka sendiri terancam dan Kademangan mereka pun terancam pula. 

Demikianlah, maka Kademangan Candi Sari serasa telah terbangun dari tidurnya. Anak-anak mudanya, terlebih-lebih lagi para pengawal kini mempunyai tanggung jawab baru. Sebenarnya tanggung jawab seorang pengawal. 

Di bantu oleh Bramanti, Temunggul mengatur anak buahnya. Semakin lama menjadi semakin tertib. Bukan saja para pengawal, tetapi setiap anak muda dan laki-laki yang masih mampu menggenggam senjata harus melakukan tugas bersama-sama. 
Namun dalam pada itu, kegiatan Kademangan Candi Sari kini seakan-akan telah bergeser. Ki Demang sendiri seakan-akan sama sekali sudah tidak mau tahu, apa yang terjadi di Kademangannya. Ia hanya mengumpat-umpat, marah-marah dan kadang-kadang mengancam. Sedang rumahnya pun kini hampir tidak diacuhkan lagi. Dibiarkannya saja orang-orang yang selalu datang ke Kademangan seperti biasanya. Ki Demang sendiri hampir-hampir tidak pernah menampakkan diri. Demikian juga keluarganya. 

“Keluargaku perlu mengungsi,” katanya pada suatu saat kepada Ki Jagabaya. 

“Kenapa?”  “Kalau pada saatnya Kademangan ini menjadi abu, biarlah keluargaku selamat, meskipun aku akan ikut menjadi abu juga.” 

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Katanya, “Sikap itu akan sangat berpengaruh Ki Demang. Orang-orang lain akan menjadi semakin gelisah. Mungkin mereka pun akan segera mengungsi pula dari Kademangan ini.” 

“Apa peduliku. Orang-orang Kademangan ini sudah tidak mau mendengar kata-kataku lagi.” 

“Tetapi kau masih tetap seorang Demang disini.” 

“Apakah seorang Demang tidak boleh berusaha menyelamatkan keluarganya? Sudah aku katakan, aku sendiri akan ikut menjadi abu disini bersama seluruh Kademangan karena kebodohan kalian. Tetapi tidak dengan keluargaku.” 

Ki Jagabaya tidak membantah lagi. Memang itu adalah haknya. Tetapi bagi Ki Jagabaya, hal itu terasa aneh. Bukankah setiap orang sudah bertekad untuk mempertahankan Kademangan ini dengan pengorbanan apa saja. 

Tetapi ternyata Ki Demang pun tidak segera melakukan maksudnya. Meskipun dari hari ke hari ia menjadi semakin jarang tampak.

Dengan demikian maka pimpinan Kademangan itu seolah-olah telah berpindah. Orang yang dalam kedudukannya masih selalu bertindak adalah Ki Jagabaya. 

Namun Ki Jagabaya tidak pernah meninggalkan Ki Tambi dan Bramanti, karena Ki Jagabaya sendiri adalah seorang yang malas berpikir. Ia terlampau biasa menjalankan tugas-tugas yang telah diatur terlebih dahulu. 

Sedang di lingkungan anak-anak muda dan para pengawal pengaruh Temunggul pun menjadi semakin susut. Kini mereka telah meyakini, bahwa Bramanti adalah seorang yang mengagumkan lahir dan batin. Setiap orang Kademangan Candi Sari kemudian menjadi yakin, bahwa Bramanti memang bermaksud baik. Dendam dan kebencian yang mereka cemaskan, semakin lama semakin hilang dari ingatan mereka. 

“Kalau ia ingin berbuat demikian, maka Kademangan ini telah dihancurkannya,” desis orang di dalam hatinya.Demikianlah, maka kedudukan Bramanti semakin lama menjadi semakin mantap. Tidak ada seorang pun lagi yang dapat mengasingkannya lagi. 

Namun Bramanti sama sekali tidak merubah cara hidupnya. Ia masih tetap sering duduk di bawah pohon sawo, menganyam berbagai macam barang dari bambu. Keranjang, caping kuwung, dan bermacam-macam lagi. Tetapi kini yang sering singgah ke rumahnya menjadi semakin banyak. Bukan sekadar Ki Tambi dan Panjang. Bahkan Ki Jagabaya pun sering datang ke rumah itu pula.

Dengan demikian, maka semakin banyak pula orang-orang yang sering membawa barang-barang anyaman Bramanti. Namun Bramanti memberikannya dengan senang hati, karena Bramanti sadar, bahwa bukan barang-barang itulah yang sebenarnya dikehendaki. Tetapi mereka hanya sekadar menunjukkan sikap semanak, sikap yang baik kepadanya.
Dalam pada itu, ibu Bramanti tidak henti-hentinya mengamati perubahan yang terjadi pada anak laki-lakinya. Diam-diam mengembanglah suatu kebanggaan di dalam dirinya. Kebanggaan yang selama ini terendam dalam-dalam di dalam dadanya. 
Ketika ia melihat kemenangan Bramanti, kemudian disusul dengan sikap yang berubah dari seluruh rakyat Candi Sari, maka kenangan masa lampaunya seolah-olah telah terungkat kembali. Tanpa sesadarnya perempuan itu sering membayangkan, selagi ia masih dihormati oleh seisi Kademangan. 

Setelah kebanggaan itu tertekan di dalam dadanya untuk waktu yang sekian panjangnya, sepanjang umur Bramanti, maka tiba-tiba ia melihat anak laki-lakinya telah melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Tidak disangka-sangka olehnya dan oleh seluruh Kademangan. 

“Mudah-mudahan ia mampu mengembalikan masa kebanggan itu. Masa kebesaran ayahnya,” namun angan-angannya itu tiba-tiba terputus. Kerut merut yang dalam membayang dikeningnya. “Bukan ayahnya. Tetapi ayah Panggiring,” desisnya. “Laki-laki itulah yang pernah menjadi Demang kebanggaan Candi Sari. Bukan Pruwita ayah Bramanti.” 

Namun dicobanya untuk menghibur dirinya, “Tetapi apakah bedanya? Bramanti adalah anakku pula, seperti Panggiring.” 

Meskipun demikian, disela-sela kebanggaan yang mulai mengembang itu, terbersitlah kekecewaan yang semakin lama semakin terasa menggigit jantung. 

“Bagaimanakah seandainya pada suatu saat Panggiring itu pulang? Tanah ini dan Kademangan ini akan menjadi persoalan yang dapat meretakkan dada.” 

Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Sekarang Bramanti lah yang ada. Bramanti lah yang mendapat kepercayaan dari rakyat Candi Sari. Dan kepercayaan itu sama sekali bukan sekadar kepercayaan yang dibuat-buat. Tetapi karena Bramanti pada suatu saat telah benar-benar melakukan sesuatu.” 

Meskipun demikian, Nyai Pruwita tidak dapat menghindarkan diri dari kerisauan itu. Kebanggaan yang bercampur baur dengan kecemasan. Harapan dan kebingungan. Kadang-kadang ia merasakan betapa ia merindukan anaknya yang seorang lagi. Tetapi kadang justru ia mencemaskannya kalau anaknya yang seorang itu akan datang kembali ke Kademangan ini.

Namun bagaimanapun juga ia adalah seorang ibu. Ia adalah orang yang melahirkan, betapapun bentuk dan jadinya. Panggiring adalah anaknya seperti juga Bramanti. 

Tetapi yang dapat dilihatnya sehari-hari sikap yang semakin baik dari setiap orang di Candi Sari kepadanya. Kepada anaknya dan kepada keluarga yang seakan-akan telah hampir dilupakan itu. 

Bramanti sendiri, kini tidak pernah lagi ragu-ragu untuk pergi kemanapun. Semua orang bersikap baik kepadanya. Anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua. Hampir setiap hari, apabila ia telah duduk di bawah pohon sawo, dan jemu berbaring di dalam kandangnya maka ia pun kadang-adang pergi juga ke bendungan. kadang-kadang bersama-sama dengan satu dua orang anak-anak muda, tetapi kadang-kadang ia pergi sendiri.

Meskipun demikian, meskipun ia tidak mencemaskan dirinya lagi, namun apabila ia bertemu dengan Ratri hatinya selalu menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia mengumpat sambil berdesis. “Semua ini adalah salah Temunggul. Kalau ia tidak mempersoalkan hubunganku dengan Ratri, aku kira akupun tidak akan terlampau banyak menaruh perhatian kepadanya. Tetapi kini agaknya telah terlanjur.”

Setiap kali ia berpapasan, maka keringatnya menjadi semakin deras mengalir. Apalagi kalau mereka berpapasan di pematang yang sempit. 

“Kemana kau Bramanti?” Ratri selalu menyapanya lebih dahulu. 

Seperti kanak-kanak yang berpapasan dengan bibi yang kurang dikenalnya. Bramanti selalu menundukkan kepalanya. Dengan jantungnya yang berdebar ia menjawab, “Aku akan ke bendungan Ratri.” 

“Sendiri?” 

“Ya. Dan kau?”  “Aku sudah selesai mencuci di bendungan. Kau kesiangan agaknya.” 

Bramanti tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.

 “Bramanti,” tiba-tiba suara Ratri merendah. 

Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah gadis itu, tampaklah ia bersungguh-sungguh. 

“Apakah kau sudah mendengar berita terakhir dari Panggiring?”

Terasa dada Bramanti berdesir. Setiap kali ia bertemu dengan Ratri, maka setiap kali gadis itu bertanya tentang Panggiring. Ia sama sekali tidak senang mendengar pertanyaan itu. Bukan saja ia kurang senang mendengar nama Panggiring, tetapi lebih daripada itu, Ratri lah yang menyebut nama itu. 

Tetapi sejauh-jauh mungkin Bramanti menyembunyikan perasaannya itu, meskipun kadang-kadang terloncat juga lewat kata-katanya. 

“Belum Ratri,” jawab Bramanti. “Aku belum mendengar berita tentang kakang Panggiring.” 

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia bertanya lagi, “Bramanti, apakah umurmu terpaut banyak dari kakakmu?” 

Bramanti mengerutkan keningnya, “Kenapa?” ia bertanya.

“Tidak apa-apa,” jawab Ratri. “Ketika ia pergi, kita masih sama-sama kecil. Tetapi aku masih ingat benar, bahwa Panggiring adalah seorang anak muda yang tegap, meskipun saat ini agak kekurus-kurusan,” Ratri berhenti sejenak lalu. “Ketika aku pertama kali melihatmu Bramanti, aku sangka kau adalah Panggiring.” 

Bramanti menarik nafas. 

“Hampir seperti kau inilah kira-kira, ketika ia pergi.” 

“Tidak,” tiba-tiba Bramanti menjawab. “Masih jauh lebih muda dari aku sekarang.” 

“Ya, ya, begitulah,” jawab Ratri. “Tetapi ia memberikan kesan yang lain dari anak-anak muda sebayanya.” 

Debar di dada Bramanti menjadi semakin keras. 
“Aku tidak dapat membayangkan, bagaimanakah Panggiring sekarang,” desis Ratri. 

Bramanti menahan nafasnya. Ketika ia memandang wajah Ratri, tampaklah betapa angan-angan gadis itu membubung menerawang ke alam angannya. 

“Bramanti,” tiba-tiba Ratri bertanya lagi. “Apakah kira-kira Panggiring juga setinggi kau? Atau bahkan lebih tinggi lagi?” 

Bramanti menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu Ratri. Yang aku ketahui, Panggiring sekarang adalah seorang penjahat. Seorang yang sudah terasing dari pergaulan.”

Wajah Ratri tiba-tiba menjadi suram. Dan terdengar ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Ya. Panggiring memang seorang penjahat menurut Ki Tambi,” ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah menurut dugaanmu seorang penjahat tidak akan dapat menjadi baik Bramanti?” 

Tanpa sesadarnya Bramanti menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Tidak. Apalagi seorang penjahat sebesar Panggiring.” 

“Jadi apakah dengan demikian kau menganggap bahwa kakakmu itu sudah hilang dan tidak akan kembali lagi?”

Bramanti menjadi ragu-ragu menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka ia menggeleng sekali lagi. “Aku tidak tahu Ratri. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sudah tidak mengharapkannya kembali.”

Kenapa? Bukankah ia kakakmu satu-satunya?” 

“Aku masih terlampau kecil untuk mengerti kenapa Panggiring saat itu tidak mau tinggal bersama kami. Tetapi suatu kenyataan bahwa ia telah pergi meninggalkan aku, ibu dan ayah.” Bramanti berhenti sejenak. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengatakan lebih banyak lagi tentang Panggiring. 

Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebuah kenangan telah membayang dikepalanya. Kenangan semasa kanak-kanaknya. Sejak ia masih seorang gadis kecil ia telah mengagumi seorang yang bernama Panggiring, yang ketika itu sedang meningkat remaja. Anak muda pendiam yang selalu berwajah muram. Namun pendiam itu sangat baik kepadanya. 

Ia tidak menyangka, bahwa anak yang baik dan pendiam itu pada suatu saat akan dapat menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara. 

Meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari perasaannya. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia telah dibelit oleh suatu keinginan untuk bertemu kembali dengan Panggiring setelah sekian lama berpisah. 

Ratri tersadar ketika terasa panas matahari pagi menggatalkan kulitnya. Ketika dilihatnya Bramanti berdiri kaku di hadapannya, maka ia pun tersenyum sambil berkata. “Ah, kau akan semakin kesiangan. Pergilah ke bendungan. Beberapa kawan masih di sana. Aku pulang lebih dahulu karena ibu tidak dapat masak hari ini, sehingga aku harus melakukannya.” 

“Kenapa?” 

“Pening. Ibu terlampau banyak kepanasan kemarin menunggui jemuran padi.” 

“O,” Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Aku akan lewat,” tiba-tiba Ratri berdesis. 

“Oh,” Bramanti tergagap. Namun ketika terpandang olehnya senyum Ratri yang cerah, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

Tanpa menunggu Ratri mengulangi kata-katanya, Bramanti pun kemudian turun ke sawah yang berlumpur, sementara Ratri berjalan di sepanjang pematang. 

“Terima kasih Bramanti,” katanya kemudian, “Kau sekarang tidak perlu cemas lagi, bahwa Temunggul akan membentak-bentakmu. Bukankah begitu?”

“Ah.”

Ratri tertawa kecil. Katanya kemudian, “Jangan gusar. Aku hanya bergurau saja,” kemudian agak bersungguh-sungguh Ratri berkata, “Bukankah kau akan memberitahukan kepadaku, apabila kau mendapat kabar tentang kakakmu?” 

Terbata-bata Bramanti menjawab, “Ya. Ya.” 

“Terima kasih,” desis Ratri sambil melanjutkan langkahnya. Sekali lagi ia berpaling sambil melambaikan tangannya. Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-merahan ketika tiba-tiba seorang perempuan yang sedang mengambil daun lembayung di sawahnya mendeham beberapa kali. 

Ketika Ratri berpaling perempuan itu tersenyum.

“Ah bibi,” desah Ratri. 

“Kenapa?” bertanya perempuan itu sambil tertawa. 

“Bibi mengejutkan aku.” 

“Kau terlampau asyik saja.” 

“Ah,” sekali lagi Ratri berdesah. “Bibi menggangguku.” 

Perempuan itu tidak menjawab. Tangannya telah bermain kembali di atas daun-daun lembayung muda. 

“Apakah kau perlu dedaunan untuk masak,” bertanya perempuan itu. 

“Terima kasih bibi. Aku sudah menyuruh mengambil pula.” 

Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Ratri pun kemudian berjalan menyusur pematang, menuju ke jalan pedesaan. 

Dalam pada itu di kejauhan seorang anak muda duduk di balik rimbunnya daun jarak di pinggir sawah. Sekali-kali wajahnya menjadi merah, namun kemudian menjadi pucat dan tertunduk lesu. Kadang-kadang ia ingin melihat Ratri yang sedang bercakap-cakap dengan Bramanti di pematang, namun kadang-kadang ia membuang wajahnya, membenturkan pandangan matanya kepada batang-batang padi yang hijau dihadapannya.

Berbagai perasaan sedang bergolak di dalam dadanya. Ia tidak dapat melupakan Ratri begitu saja, betapapun ia sadar, bahwa jurang yang terbentang di antara mereka kini menjadi kian lebar. 

Tiba-tiba anak muda itu terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya. “Temunggul.” 

Temunggul berpaling. Dan ia terperanjat ketika ia melihat Ki Demang telah berdiri di belakangnya. 

“Oh, Ki Demang agaknya,” sapanya sambil berdiri. 

Ki Demang tidak segera menyahut. Dipandanginya Ratri yang berjalan di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin jauh. Kemudian ketika ia berpaling ke arah yang lain dilihatnya Bramanti seakan-akan hilang ditelah oleh hijaunya dedaunan di sawah, ketika ia turun ke bendungan. 

“Anak-anak muda itu telah mengecewakan kau bukan Temunggul?” bertanya Ki Demang. 

Temunggul menggigit bibirnya. 

“Apakah sekarang Ratri menjauhimu?” 

Temunggul masih belum menjawab. 

“Kau harus berbuat sebagai seorang laki-laki,” berkata Ki Demang kemudian. 

Temunggul terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta ia bertanya, “Maksud Ki Demang?” 

Ki Demang tersenyum hambar. Desisnya, “Bukankah kau mencintai Ratri?” 

Temunggul tidak segera menyahut. Tetapi dadanya dijalari oleh keragu-raguan. Dipandanginya saja wajah Ki Demang dengan sorot mata keheranan. 

“Benar?” desak Ki Demang. 

Temunggul masih belum menjawab. Seolah-olah ia ingin meyakinkan apakah Ki Demang sebenarnya memang bertanya demikian. 

“Benar begitu, Temunggul?” desak Ki Demang pula. 

Perlahan-lahan Temunggul menganggukkan kepalanya, “Ya Ki Demang.” 

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kalau kau benar-benar mencintainya, kau harus berbuat sesuatu. Kau tidak akan dapat bertopang dagu seperti yang kau lakukan itu. Meratap dan mengeluh. Kemudian bersembunyi dan menelungkup di pembaringan sambil menangis. Tidak Temunggul. Itu adalah laku seorang perempuan. Perempuan pun perempuan cengeng. Sedang kau adalah seorang laki-laki . Seorang pemimpin pengawal Kademangan ini. Apakah kau akan tinggal diam?” 

Terasa sesuatu bergolak di dada Temunggul.  “Kau tahu maksudku Temunggul?” 

Temunggul tidak menyahut.  “Ada seribu jalan yang dapat kau tempuh. Tetapi tidak menyita diri sendiri seperti yang kau lakukan. Kau harus merebutnya dengan segala macam cara.” 

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera mengerti, jalan manakah yang dimaksud oleh Ki Demang. Suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya bahwa ia tidak akan dapat melawan Bramanti. Bahkan lima orang setingkatnya sekaligus.

Temunggul menjadi semakin bingung ketika ia melihat Ki Demang tersenyum. 

“Temunggul,” desis Ki Demang. “Ada persamaan persoalan antara aku dan kau, meskipun sasarannya berbeda. Kalau kau kehilangan seorang gadis, maka aku akan kehilangan Kademangan ini.” 

“Kenapa?” tiba-tiba Temunggul bertanya. 

“Beberapa orang telah berbuat terlampau bodoh. Bahkan kau sendiri telah ikut terseret ke dalamnya. Coba katakan, apakah perlawanan kalian terhadap orang-orang Panembahan Sekar Jagat, dan yang kalian anggap suatu kemenangan itu telah memberikan ketentraman kepada kalian kini?” 

Temunggul mengerutkan keningnya. 

“Semua itu akan membawa bencana bagi tanah ini. Sebentar lagi Kademangan ini akan menjadi karang abang.”

“Tetapi hal itu telah terjadi beberapa hari sampai sekarang Ki Demang. Dan belum ada tanda-tanda bahwa Penambahan Sekar Jagat akan menuntut balas atas kematian orang-orangnya disini.” 

“Itulah kelebihan Panembahan Sekar Jagat. Ia membiarkan korbannya dalam kecemasan untuk waktu yang lama sebelum sampai saatnya ia datang untuk menghancurkannya.” 

Tanpa disadarinya Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Adalah kebetulan sekali Temunggul, bahwa orang yang telah merampas gadis itu dari tanganmu, adalah sumber dari bencana yang bakal melanda Kademangan ini. Bramanti, kemudian Tambi dan beberapa orang yang lain yang sama sekali tidak berpengaruh apapun juga.” 

Temunggul masih mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Kalau orang itu tidak ada, maka baik kau maupun aku akan menjadi tentram karenanya. Kau tidak akan kehilangan Ratri, dan aku tidak akan kehilangan Kademangan ini. Bukan aku seorang diri. Bukan aku pribadi, tetapi seluruh Kademangan inilah yang aku maksud. Sehingga apabila kau dapat melakukannya, maka kau adalah sebenarnya pahlawan bagi Candi Sari.” 

Temunggul tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia merenung. Dibayangkannya apakah yang kira-kira terjadi apabila ia melakukan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Demang itu. Tetapi bagaimana mungkin hal itu terjadi?

Ki Demang agaknya melihat keragu-raguan di wajah Temunggul. Karena itu ia menyambung, “Temunggul. Aku tahu, bahwa tingkat ilmumu masih jauh berada di bawah Bramanti. Ternyata Bramanti selama ini telah memalsu dirinya dan berpura-pura. Aku tidak tahu dengan pasti, apakah maksudnya. Namun sebenarnya ia adalah seorang yang luar biasa. Karena itu, kau pasti tidak akan dapat melawannya. Kau harus menemukan kesempatan untuk melakukannya.” 

Temunggul mengerutkan keningnya. Kini ia tahu pasti maksud Ki Demang. Ia harus membunuh Bramanti dengan cara yang licik. 

 

“Nah, pertimbangkan Temunggul,” berkata Ki Demang kemudian. “Kau tidak hanya akan mendapat Ratri. Tetapi seluruh Kademangan akan berterima kasih kepadamu. Serahkan Tambi kepadaku, sedang Panjang dan beberapa orang yang lain sama sekali tak akan banyak berarti bagimu.” 

Jantung Temunggul serasa berdenyut semakin cepat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa ia akan mendapat tawaran serupa itu. Tawaran yang sama sekali bertentangan dengan sifat-sifatnya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang laki-laki. Kalau ia harus bertempur, maka akan lebih baik baginya bertempur berhadapan, meskipun ia harus mati. Tetapi tidak dengan cara yang licik itu. 

Namun segera terbayang, betapa Bramanti mampu membunuh seorang yang bernama Sapu Angin. Kalau ia menantang anak muda itu sebagai seorang laki-laki maka itu akan berarti bahwa ia akan membunuh dirinya. 

Karena itu, maka Temunggul kini justru berada di dalam kebingungan. Semula ia sama sekali tidak memikirkan kemungkinan untuk merebut Ratri dengan cara apapun. Ia lebih baik duduk bertopang dagu sambil menyesali nasibnya. Karena ia tidak akan dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya.

Namun hal itu kini menjadi persoalan baginya, justru suatu persoalan baru. 

Ki Demang yang masih berdiri di tempatnya tersenyum. Katanya, “Pikirkanlah Temunggul. Kau masih mempunyai cukup waktu. Kau dapat datang ke rumahku setiap saat. Tetapi sudah tentu, jangan terlampau lama. Aku sebaiknya berterus terang kepadamu, bahwa Panembahan Sekar Jagat akan melepaskan tuntutannya atas kematian Sapu Angin, asal kita dapat menyerahkan pembunuhnya hidup atau mati. Nah, bukankah dengan demikian kita akan terlepas dari bencana yang maha dahsyat yang dapat menimpa Kademangan ini, termasuk Ratri.”

Ki Demang kemudian berhenti sejenak, kemudian, “Selain semuanya itu Temunggul, kau akan mendapat imbalan yang lain. Apa yang kau ingini sebagai bekal kawinmu? Sawah atau pendok emas?” 

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Temunggul. Namun dengan demikian, maka justru hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Dan bahkan ia tidak dapat mengerti, bagaimanakah sebenarnya tanggapannya atas usul Ki Demang itu. Temunggul merasa dirinya sendiri seolah-olah menjadi asing setelah ia mendengar tawaran Ki Demang itu. 

“Jangan kau paksa dirimu memutuskan sekarang Temunggul. Kalau kau tergesa-gesa mungkin kau akan keliru. Renungkanlah seperti yang aku katakan. Aku menunggu keputusanmu.” 

Sebelum Temunggul menjawab, Ki Demang telah melangkah pergi meninggalkan Temunggul seorang diri.

Sepeninggalan Ki Demang, Temunggul menjadi bingung. Ia tidak pernah dicengkam oleh kebimbangan seperti itu. Kebimbangan yang membuat kepalanya seakan-akan terlepas dari lehernya. 

“Tawaran itu cukup baik,” desisnya. “Aku dapat mencari kesempatan yang sebaik-baiknya. Aku dapat berbuat licik sekalipun. Namun aku akan mendapatkan segala-galanya. Ratri dan bekal yang cukup untuk mengawininya. Bahkan aku tidak akan pernah kehilangan kedudukan dan pengaruhku di antara anak-anak muda Kademangan Candi Sari ini.” 

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dilontarkannya pandangan matanya yang memancarkan kerisauan hatinya, menyapu hijaunya tanah persawahan. 

“Aku akan mempunyai segala-galanya,” desisnya. 

Tiba-tiba Temunggul itu tersenyum, “Persetan dengan kejantanan. Aku akan membunuhnya dengan cara apapun. Mungkin aku akan meracunnya atau menikamnya dari belakang di bendungan, atau dimana saja. Mudah sekali. kemudian aku mendapat sebidang sawah yang subur untuk memperluas sawahku sendiri, atau sebuah perhiasan emas teretes berlian, atau apapun yang aku minta.” 

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bahkan mungkin aku akan menjadi semakin berpengaruh di Kademangan ini. Kini nama Ki Demang telah menjadi semakin susut. Apakah tidak mustahil bahwa suatu ketika aku akan sampai pada kedudukan itu? Seperti menyingkirkan Bramanti, akupun harus dapat menyingkirkan Ki Demang.” 

Tanpa sesadarnya Temunggul tertawa. 

Untunglah bahwa segera ia menyadari keadaannya. Dengan demikian suara tertawanya itu pun terputus. Dengan nanar ia memandang kesegala arah.  “Apakah ada seseorang yang melihat aku tertawa sendiri?” ia bertanya kepada dirinya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Agaknya tidak ada seorang pun yang melihatnya. 

“Aku harus segera pulang dan mempersiapkan diriku lahir dan batin,” desisnya, kemudian, “Aku harus melepaskan segala macam perasaan harga diri dan kehormatanku. Apabila masih ada sepercik keragu-raguan di dalam dada ini, maka semuanya pasti akan gagal. Kegagalan itu hanya akan menambah kepahitan hidupku saja,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apa boleh buat. Apa boleh buat.” 

Langkah Temunggul pun semakin lama menjadi semakin cepat tanpa disadarinya. 

Dengan tangan gemetar Temunggul membuka pintu rumahnya, kemudian langsung menuju ke dalam biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Sejenak kemudian, angan-angannya telah terbang menerawang sampai ke lapis tingkat ketujuh.

Bayangan-bayangan tentang masa depannya yang mengawang itu pun seolah-olah senjadi semakin jelas. 

Pada saat itu Bramanti masih duduk merenung di atas sebuah batu di bendungan. Ia menunggu beberapa orang gadis yang masih belum selesai dengan cuciannya. 

Sekali-kali Bramanti melihat gadis-gadis itu serentak berpaling kepadanya, kemudian tertawa tertahan-tahan. Namun Bramanti tidak mempedulikannya lagi. Ia ingin gadis-gadis itu segera selesai. Kemudian ia sendiri akan mencuci bajunya pula. 
Namun sambil menunggu, Bramanti selalu teringat akan pertanyaan-pertanyaan Ratri tentang kakaknya, Panggiring. Setiap kali dadanya terasa seakan-akan tergores seujung duri. Kenapa setiap kali Ratri selalu bertanya tentang Panggiring. Panggiring dan tidak yang lain?

Bramanti mengerutkan dahinya. Bahkan ketika ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Ratri, gadis itu menyangkanya panggiring juga. 

“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam-dalam. 

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat memaksa Ratri untuk melupakan Panggiring. Apalagi berterus terang kepada gadis itu. 

“Beginilah kira-kira perasaan Temunggul pada waktu itu, dan bahkan mungkin sampai saat ini,” desis Bramanti. “Tetapi apaboleh buat. Sedang akupun telah disiksanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.” 

Dan tanpa sesadarnya Bramanti telah mulai menilai kakaknya yang bernama Panggiring itu. Meskipun saat itu ia tidak mengerti dengan jelas, apakah sebenarnya yang telah terjadi, tetapi kebencian ayahnya kepada Panggiring telah membuatnya membenci kakaknya itu pula. 

“Kebencian ayah pasti bukan tidak beralasan,” desisnya. “Dan agaknya kakang Panggiring memang mempunyai pembawaan buruk.” 

Dengan demikian maka Bramanti pun menjadi semakin jauh dari kakaknya itu. Meskipun mereka saudara seibu, tetapi Bramanti sama sekali tidak merasakan sentuhan apapun dari pada perasaannya. 

Namun Bramanti terkejut ketika ia merasakan punggungnya disentuh oleh sebuah batu kerikil. Ketika ia berpaling maka dilihatnya gadis-gadis yang sedang ditunggunya itu berada di atas tebing. Salah seorang dari mereka telah melemparinya dengan kerikil. 

“He, apakah kau tertidur?” bertanya salah seorang dari mereka. 

“Alangkah asyiknya mimpimu Bramanti,” berkata yang lain. 

Bramanti menarik nafas. Namun kemudian ia tersenyum. 

“Siapakah bunga di dalam mimpimu Bramanti?” bertanya yang lain. 

Sekenanya saja Bramanti menjawab, “Kau.” 

Terdengar gadis-gadis itu pun tertawa sambil saling mendorong, sehingga salah seorang dari mereka menjerit, “He, jangan. Hampir saja aku terjerumus tebing.” 

“Jangan takut,” sahut yang lain. “Masih ada yang akan menolongmu di bawah.” 

Suara tertawa gadis-gadis itu pun menjadi semakin riuh.

Namun mereka pun kemudian berlari-larian meninggalkan tebing dan hilang di balik rerumputan di atas tanggul. 
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Gadis-gadis itu kini bersikap baik kepadanya. Tidak seperti beberapa saat sebelumnya. Namun dengan demikian, Bramanti merasa semakin sepi, karena setiap kali Ratri selalu menanyakan Panggiring. 

“Ah, apa peduliku,” ia menggeram. Kemudian ia pun meloncat ke bendungan dan melemparkan bajunya ke dalam air. Sejenak kemudian ia pun telah sibuk mencuci bajunya dengan air lerak. 

Untuk meniadakan angan-angannya maka dihentakkannya bajunya itu beberapa kali. Kemudian ditariknya sebuah tembang dengan suara yang sumbang. Adalah kebetulan sekali bahwa ia menembang lagu Asmarandana. 

Di malam hari, seperti biasanya, Bramanti selalu pergi ke Kademangan. Meskipun Ki Demang sendiri sudah jarang-jarang sekali keluar dari rumahnya, namun pendapa rumah itu, dan gardu di halaman, masih selalu penuh dengan anak-anak muda dan para pengawal. Apalagi setelah Sapu Angin terbunuh di Kademangan Candi Sari, maka halaman Kademangan itu tampak menjadi semakin sibuk.

Ketika Bramanti memasuki halaman, dilihatnya Temunggul mendekatinya. Sambil tertawa ia berkata, “Bramanti, kau tampak semakin lama semakin segar.” 

Bramanti mengerutkan keningnya. Sapa itu terdengar aneh ditelinganya. Namun ia menjawab juga, “Candi Sari kini telah memberikan tempat yang lapang bagiku Temunggul.” 

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Bagaimana menurut penilaianmu keadaan akhir-akhir ini?” bertanya Temunggul pula. 

“Baik. Baik sekali. Seandainya terjadi sesuatu, kita tidak akan terkejut karena kita memang sudah siap.” 

Sekali lagi Temunggul tertawa. Sambil membimbing tangan Bramanti ia berkata, “Minumlah, mumpung masih hangat.” 

Bramanti menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak menolak. Setelah ia duduk di antara beberapa orang pengawal, maka tangannya pun telah memegang sebuah mangkuk minuman. 

Sikap Temunggul malam itu terasa terlampau baik bagi Bramanti. Namun Bramanti sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun. Bramanti sama sekali tidak tahu, bahwa di bawah baju Temunggul tersimpan sebuah pisau belati, di samping pedangnya yang tergantung dilambungnya. 

“Sekali-kali kita memang harus nganglang,” berkata Temunggul. 

Bramanti mengerutkan keningnya, “Kenapa sekali-kali. Bukankah setiap kali kita selalu nganglang di seputar Kademangan ini.”

“Oh,” Temunggul menelan ludahnya. “Ya. Kau benar Bramanti. Kita masing-masing memang sudah terlampau sering memutari Kademangan ini.” 

“Lalu, apalagi yang kau maksudkan?”

“Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa.” 

Bramanti menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi. Diteguknya minuman hangat di mangkuknya, kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. 

Sejenak kemudian ia sudah terlibat dalam pembicaraan yang ramai dengan kawan-kawan sebayanya. Kawan-kawan yang selama ini terasa menjadi semakin dekat, setelah terpisah beberapa saat lamanya. Namun Temunggul lah yang agak lain dari kebiasannya. Sekali-kali ia menjadi pendiam, namun kemudian seakan-akan dibuatnya, ia berceritera dan tertawa berlebih-lebihan. 

Yang belum tampak di antara mereka adalah Ki Tambi. Meskipun ia telah agak lanjut umurnya, namun ia masih juga selalu berada di antara anak-anak muda dan para pengawal bersama Ki Jagabaya. Namun kali ini Ki Jagabaya duduk sendirian terkantuk-kantuk di sudut pendapa. Karena Ki Demang kini tidak tampak di pendapa, maka Ki Jagabaya masih belum mempunyai kawan untuk bercakap-cakap. Ia agak kurang mapan bercakap-cakap dengan anak-anak muda yang kadang-kadang berbicara saja hilir mudik tanpa arti. 

Memang kadang-kadang ada juga satu dua orang-orang tua yang datang ke pendapa. Tetapi terlampau jarang. Mereka lebih senang tidur melingkar di rumahnya, berselimut kain panjang, daripada berjalan menyusuri gelap di malam hari. 
Meskipun demikian, di hari-hari terakhir, setiap laki-laki di Kademangan Candi Sari selalu meletakkan senjata mereka di pembaringannya. 

Pada saat itu Ki Tambi sedang berjalan-jalan menyusuri parit, yang mengalirkan air ke sawahnya. Ia ingin melihat apakah tanamannya tidak kering. Sepeninggalannya, sawah itu kurang mendapat pemeliharaan sehingga tanahnya seakan-akan mengeras seperti padas. Setelah ia kembali, maka mulailah ia berusaha memperbaiki tanah itu dengan memberikan berbagai macam pupuk dan menjaga agar tanah itu tidak kering. 

Tetapi ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh mengikutinya, berjalan menyusur parit itu juga. Kalau ia mempercepat langkahnya, maka bayangan yang kehitam-hitaman digelapnya malam itu melangkah semakin cepat pula. Kalau ia memperlambat langkah, maka bayangan itu pun menjadi semakin lambat. Bahkan apabila ia berhenti, bayangan itu pun berhenti juga.Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi bercuriga karenanya. Karena itu, tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya yang terselip di lambung. 

“Siapakah orang itu?” desisnya. Dan ternyata bayangan itu masih selalu mengikutinya. 

“Persetan,” Ki Tambi menggeram. “Apa saja yang akan dilakukan aku sudah siap.” 

Dan Ki Tambi itu pun seolah-olah tidak menghiraukannya lagi. Dengan langkah yang tetap ia berjalan langsung menuju ke sawahnya. 

Meskipun demikian Ki Tambi tidak menjadi lengah. Ia berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Seandainya orang itu tiba-tiba saja meloncat menerkamnya, ia sudah siap untuk melawannya. 

Namun betapapun ketegangan mencekam dadanya. Ia masih sempat memperhatikan air di sawahnya. Ternyata air itu cukup lancar, sehingga tanahnya sama sekali tidak kering. 

“Tetapi bagaimana dengan orang itu?” ia bertanya kepada diri sendiri. Namun ia tidak tahu, bagaimana ia harus menjawabnya. 

Dalam ketegangan itulah, maka Ki Tambi kemudian berjongkok di samping belahan pematang yang disobeknya untuk mengalirkan air dari dalam parit. Namun demikian tangannya masih saja melekat dihulu senjatanya. 

Bayangan yang hitam itu berhenti beberapa langkah daripadanya. Seperti sebuah patung bayangan itu berdiri tegak tanpa bergerak sama sekali. 

Tiba-tiba Ki Tambi tidak sabar lagi. Segera ia meloncat sendiri sambil bertanya lantang, “Siapa kau?” 

Ketika Ki Tambi maju selangkah bayangan itu pun surut selangkah. 

“Siapa kau he?” bentak Ki Tambi. “Dan apakah maksudmu?” 

Bayangan itu masih belum menjawab.

Dalam pada itu Ki Tambi menjadi semakin kehabisan kesabarannya. Tiba-tiba saja pedangnya telah berada di tangannya, “Ayo, jawab. Siapa kau?” 

Bayangan itu tampak bergerak-gerak. Kemudian surut selangkah pula. Ki Tambi menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah orang ini yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat atau yang menamakan dirinya Resi Panji Sekar? Ataukah siapa lagi?

“Kalau orang ini Panembahan Sekar Jagat,” ia berkata di dalam hatinya. “Maka kedatangannya ini pasti di dalam rangka pembalasan dendamnya atas kematian Sapu Angin dan orang-orangnya. Mungkin ia telah menerima laporan dari salah seorang anak buahnya, atau bahkan oleh Wanda Geni yang berhasil melarikan dirinya, bahwa aku termasuk salah seorang yang paling gigih menganjurkan perlawanan atas Panembahan Sekar Jagat itu.” 

Ki Tambi itu pun mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun melanjutkannya di dalam hatinya. “Tetapi apa boleh buat. Aku harus menghadapinya. Alangkah dahsyatnya Panembahan Sekar Jagat ini. Ia mempergunakan cara yang khusus untuk membalas dendam. Ia agaknya telah bertekad menemui seorang demi seorang. Setelah aku mungkin segera Bramanti ditemuinya pula. Tetapi agaknya Bramanti akan berhasil menyelesaikannya. Sayang, aku sudah tidak akan dapat melihatnya, karena malam ini Panembahan Sekar Jagat itu sudah akan mencekikku.” 

Tetapi Ki Tambi tidak menjadi gemetar dan ketakutan karenanya. Meskipun ia sadar, apabila orang itu Panembahan Sekar Jagat, maka umurnya sudah akan sampai ke ujung.

Namun tanpa disadarinya, tangannya telah meraba kantong ikat pinggangnya. Di dalam kantong ikat pinggang kulitnya itulah tersimpan sebuah lencana yang diterimanya dari Panggiring. 

“Apakah lencana ini akan berpengaruh seperti didaerah pesisir Utara?” bertanya Ki Tambi di dalam hatinya, kemudian, “Tetapi menurut salah seorang anak buahnya, Panembahan Sekar Jagat justru pernah mengeluarkan tantangan kepada Panggiring. Jika demikian, maka lencana ini akan mempunyai dua kemungkinan. Sekar Jagat menghormatinya atau justru akan dipakainya sebagai alasan untuk memancing Panggiring.” 

Karena bayangan itu masih tetap berdiam diri, maka Ki Tambi pun melangkah maju lagi sambil bertanya pula. “He siapa kau? Hantu, tetekan atau manusia seperti aku?” 

Tetapi bayangan yang kehitam-hitaman itu kini tidak melangkah surut lagi. Bahkan setapak ia maju. 

Pedang Ki Tambi telah teracung lurus ke depan. Perlahan-lahan ia menjadi semakin dekat. “Sebut namamu,” ia menggeram. Kini ujung pedang Ki Tambi menjadi semakin dekat mengarah langsung kepada bayangan itu. Tetapi bayangan itu masih belum bergerak. 

Tetapi semakin dekat Ki Tambi dengan bayangan itu terasa dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Dikedip-kedipkan matanya dan dicobanya untuk mengamati bayangan itu lebih seksama. 

“Siapa kau he, siapa?” tetapi nada suara Ki Tambi itu telah berubah. 

“Aku paman.” 

“Kau, kaukah itu he?” 

“Ya, sebenarnya aku telah datang paman.” 

“Oh,” sejenak Ki Tambi berdiri tegak seperti patung. Matanya tidak berkedip memandangi orang yang masih juga berdiri membeku. Namun tiba-tiba Ki Tambi menyarungkan pedangnya dan meloncat maju, menggenggam kedua belah tangan orang itu sambil berdesis, “Kau, kau. Kau benar-benar datang Panggiring.” 

Panggiring menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi berat. “Ya, aku datang paman.” 

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat Panggiring menundukkan kepalanya. Ketika ia bertemu dengan anak muda itu di pesisir Utara, Panggiring selalu menengadahkan wajahnya, meskipun pada wajah itu tergores beberapa bekas luka senjata. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi malu karenanya. Goresan-goresan itu justru menjadi kebanggaannya. Kebanggaan seorang pemimpin perampok yang paling ganas. 

Dan kini ia melihat Panggiring itu menundukkan kepalanya. 

“Panggiring,” berkata Ki Tambi kemudian. “Aku tidak menyangka bahwa kau benar-benar akan datang. Aku kira kau hanya sekadar berbicara begitu saja tanpa kau pikirkan masak-masak. Tetapi ternyata bahwa kau kini telah berada disini.” 

“Sebenarnya paman, waktu itu aku memang hanya berbicara begitu saja. Aku pun pada saat itu sama sekali tidak bermaksud bersungguh-sungguh. Namun agaknya aku memang harus kembali ke kampung halaman setelah sekian tahun meninggalkannya.” 

Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia teringat kepada kata-kata salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat, sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Panggiring, apakah kedatanganmu ini sehubungan dengan tantangan Panembahan Sekar Jagat?” 

Panggiring tersentak. Di angkatnya wajahnya yang ditandai dengan bekas luka.

“Darimana paman mendengarnya?” 

“Salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat yang terluka.” 

“Apakah ia berkata begitu?” 

“Ya, bukankah kau pernah menyampaikan lencana kepada Panembahan Sekar Jagat?” 

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. “Sebenarnya aku ingin memenuhi tantangan itu. Tetapi semuanya itu telah berlalu.” 

Ki Tambi menjadi heran mendengar kata-kata yang bernada rendah itu. Ia merasakan, bahwa sesuatu telah terjadi pada diri pimpinan perampok yang paling ditakuti itu. 

Karena itu tanpa sesadarnya Ki Tambi memandang wajah Panggiring tajam-tajam, seolah-olah ingin diketahuinya langsung, apakah yang tersimpan di dalam kepalanya. Tetapi dalam keremangan malam kesan di wajah Panggiring itu tidak terlampau banyak dapat ditangkap. Dan perlahan-lahan Ki Tambi bertanya, “Kenapa kau tidak dapat memenuhi tantangan itu Panggiring?” 

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ketika aku menerima pesan itu, aku sudah merencanakan untuk datang tepat pada waktunya. Sebulan setelah tantangan itu aku terima. Tetapi ternyata sebulan kemudian aku telah memutuskan untuk meletakkan segala macam senjata dari tanganku yang penuh dengan noda ini.”

“Panggiring,” Ki tambi hampir berteriak. “Apakah artinya?” 

Panggiring menganggukkan kepalanya, “Begitulah. Aku sudah meletakkan senjata.” 

“Jadi kau sekarang sudah berubah?” 

Panggiring menganggukkan kepalanya pula, “Aku sedang berusaha paman.” 

Ki Tambi menepuk-nepuk bahu Panggiring yang bidang itu. Ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkumat-kamit. Tetapi terasa tenggorokan orang tua itu seakan-akan tersumbat. 

Sejenak mereka saling berdiam diri. Betapa silirnya angin malam, tetapi tubuh Ki Tambi telah dibasahi oleh keringat yang mengembun dari lubang-lubang kulitnya. 

Suara kentongan di kejauhan telah membangunkan keduanya dari dunia angan-angannya. Perlahan-lahan Ki Tambi berdesis, “Sudah tengah malam.” 

Panggiring mengangguk, “Ya paman. Sudah tengah malam.” 

“Lalu bagaimana dengan kau Panggiring? Apakah kau akan segera pulang ke rumah.” 

Panggiring tidak segera menjawab. Tetapi terasa bahwa hatinya sedang menerawang jauh. Jauh sekali. 

“Panggiring,” suara Ki Tambi tiba-tiba merendah. “Aku harus minta maaf kepadamu.” 

“Kenapa paman?” 

“Karena aku tidak menyangka bahwa kau akan datang secepat ini, maka aku telah menceriterakan tentang dirimu kepada orang-orang di Kademangan Candi Sari.” 

Panggiring mengerutkan keningnya. 

 “Semula aku hanya ingin mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan kau, dan kau telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan aku telah memamerkan lencana yang kau berikan itu pula. Tetapi aku sampaikan juga kepada kenyataanmu di pesisir Utara Panggiring.” 

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejanak ia berkata, “Aku tidak berkeberatan paman. Aku memang telah menjalani hidup serupa itu. Dan aku sekarang akan menempatkan diriku ke dalam dunia yang lain.” 

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum tahu apakah akan jadinya. Terbayang sekilas diwajahnya sikap Bramanti yang selalu mengelakkan diri dari setiap hubungan dengan Panggiring. 

Debar di dada Ki Tambi menjadi semakin tajam. Kini ia seakan-akan melihat dua orang bersaudara, seibu tetapi berlainan ayah, sebagai dua orang laki-laki yang tidak sejalan. Apalagi keduanya adalah orang-orang perkasa yang tidak ada bandingnya. 

Sekilas terbayang pula apa yang pernah terjadi beberapa waktu yang lampau. Sebagai seorang yang disegani, Ki Tambi melihat apa yang telah menimpa keluarga itu, meskipun tidak terlampau jelas. 

“Paman,” terdengar suara Panggiring berat, “Sesuatu telah memaksa aku untuk menempuh jalan ini. Mudah-mudahan aku tidak mendapat kesulitan atau bahkan membuat kesulitan pada orang lain.” 

“Oh, tidak, tidak ngger,” Ki Tambi tergagap. Namun kemudian, “Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan kau?” 

“Ceritera itu mungkin tidak menarik. Tetapi aku sangat berterima kasih bahwa hal itu telah terjadi atas diriku.” 

“Apakah kau tidak bekeberatan untuk mengatakannya?” 
Panggiring ragu-ragu sejenak, kemudian diangkatkannya kepalanya sambil berkata, “Mungkin ada baiknya juga paman mengetahui.” 

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Marilah kita duduk. Aku ingin mendengar ceriteramu itu.” 

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika Ki Tambi duduk di atas rerumputan yang basah oleh embun, maka Panggiring pun duduk pula di sampingnya. 

“Nah, sekarang kau mulai berceritera tentang dirimu sendiri,” berkata Ki Tambi kemudian. Panggiring masih berdiam untuk sesaat. Mulutnya serasa menjadi terlampau berat untuk berceritera tentang dirinya sendiri. 

“Apakah kau berkeberatan?” bertanya Ki Tambi.

“Tidak paman, tidak,” Panggiring tergagap. 

Ki Tambi menjadi semakin heran. Panggiring seolah-olah telah berubah sama sekali. Ia menjadi gugup dan bingung. Beberapa saat yang lalu, Panggiring adalah seorang yang garang, berkepala dingin dan bersikap terlampau tenang, apapun yang dihadapinya. 

“Paman,” suara Panggiring merendah dan bergetar, “Pada suatu saat aku merasa bahwa aku adalah seorang yang tidak terkalahkan.” 

“Ya. Aku percaya bahwa kau memang tidak terkalahkan di pesisir Utara.” 

“Karena itulah aku menjadi kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku. Orang yang berani menentang aku dalam segala bentuknya, pasti aku singkirkan.” 

“Kau bunuh?”

Panggiring menarik nafas dalam sekali. Katanya, “Ya, aku telah membunuh puluhan orang dengan tanganku. Sehingga akhirnya aku bertemu dengan seorang lawan yang tangguh. Namun dalam perkelahian yang terjadi, aku berhasil membunuhnya, juga dengan senjata yang tergenggam di tangan ini,” Panggiring berhenti sebentar. Tangannya yang gemetar diamati-amatinya. Dan Ki Tambi pun berdesir melihat jari-jari tangan Panggiring yang mengembang, seakan-akan hendak menerkam wajahnya sendiri. 

Ki Tambi yang menahan nafas itu berdesah ketika ia melihat tangan itu kemudian terkulai lemah. 

“Tetapi paman. Dalam perkelahian itu aku pun telah terluka parah. Aku tidak dapat lagi beranjak dari tempatku. Dan aku hanya dapat menunggu kematian yang ganas akan menerkam aku. Justru kematian yang paling mengerikan. Perlahan-lahan sambil menunggu anjing-anjing liar yang lewat. Karena arena perkelahian yang kami pilih adalah sebuah padang rumput di pinggir sebuah hutan kecil tanpa seorang pun yang menyaksikannya,” Panggiring berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang tidak aku sangka-sangka itu datang. Seorang perempuan tua pencari kayu. Ketika ia melihat aku, maka timbullah ibanya. Diberikannya setitik air bekalnya ke bibirku. Ternyata titik air itu telah menambah kesegaran ditubuhku. Sejak perkelahian itu selesai, menjelang fajar sampai matahari sepenggalah, aku terbaring dalam kesakitan dan kehausan. Karena itu, maka ketika setitik air telah membasahi bibirku, serasa aku mendapat suatu kekuatan. Tiba-tiba saja aku kehilangan sifat-sifat kemanusiaan ku itu pula. Dengan serta merta bumbung air itu aku sentakkan dari tangannya. Hampir di luar sadarku, maka air dalam bumbung itu aku tuangkan begitu saja ke mulutku.”

“Jangan,” teriak perempuan tua itu, “Jangan kau habiskan air itu. Aku akan kehausan di hutan itu nanti.” 

Tetapi aku tidak mempedulikannya. Air itu aku teguk sampai habis. Ketika perempuan tua itu mencoba merebutnya dari tanganku, maka sebuah hentakan telah membuatnya terpelanting. Sehingga akhirnya air itu terkuras habis, meskipun sebagian tumpah di wajah dan dadaku.

“Kau habiskan air itu?” desis perempuan tua itu. 

Aku tidak menjawab. Tubuhku masih terasa sakit dan luka-lukaku menjadi pedih. Apalagi karena percikan air yang tumpah dari bumbung itu.  Aku yang masih terlampau lemah itu melihat perempuan tua itu merenungi bumbungnya yang telah kosong. Kemudian merenungi wajahku.

Di luar dugaan perempuan itu mendekati aku sambil berkata, “Sudahlah. Aku tidak akan menyesali air itu. Apakah kau masih sakit?” 

Aku tidak menjawab. 

“Apa kau berkelahi?” 

Aku pun tidak menjawab. Tetapi aku melihat perempuan tua itu mengamat-amati mayat lawanku. 

“Sayang ia sudah mati, sehingga tidak ada gunanya lagi menolongnya,” desisnya, “Tetapi yang masih hidup sajalah yang wajib ditolong sebaik-baiknya.” Kemudian ia mendekati aku lagi sambil bertanya, “Apakah kau dapat bangkit?” 

Aku tidak tahu kenapa aku menggelengkan kepalaku, seperti anak-anak dihadapan neneknya.

“Aku tidak kuat mendukungmu. Tetapi aku dapat menunggu sampai kau mampu berjalan ke pondokku.” 

Perempuan tua itu memang mengherankan sekali. Ia pun kemudian duduk bersimpuh di sampingku terbaring. Dengan sesobek kain ia mencoba menyeka luka-lukaku yang masih berdarah.

Sentuhan tangannya telah membuat perasaanku menjadi aneh. Selama ini aku tidak pernah disentuh oleh tangan yang menyalurkan iba dan kasihan, apalagi kasih yang tulus. Yang biasa aku rasakan adalah sentuhan senjata dan sentuhan tangan-tangan yang kasar bernada maut. Tetapi tangan orang tua itu lain. Lain sama sekali. 

Karena itu, aku pun berusaha untuk menemukan sisa-sisa kekuatanku. Perlahan-lahan aku bangkit dan duduk bersandar kedua tanganku. 

“He, kau sudah dapat bangkit? Apakah kau dapat memaksa dirimu untuk berjalan setapak demi setapak?” 

Orang tua itu merenung sejenak. Kemudian ia berdiri dan melangkah pergi. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun sejenak kemudian ia kembali dengan sebatang kayu ditangannya. 

“Kau memerlukan tongkat. Ayo, bangun dan berjalan. 

Aku benar-benar seperti seorang anak kecil. Dengan susah payah aku bangkit berdiri bersandar pada sebatang kayu itu. Karena aku memaksa diri dengan mengerahkan segenap sisa-sisa kekuatanku, maka akupun berhasil berdiri dan berjalan mengikuti nenek itu, pulang ke rumahnya. 

Ternyata rumahnya tidak begitu jauh. Tetapi sampai ke gubug kecil itu, tenagaku telah terperas habis. Karena itu, begitu aku meletakkan diriku di pembaringan, aku langsung menjadi pingsan. 

Namun rumah yang kecil dan sederhana itu telah memberikan kekayaan rohani yang tiada taranya bagiku. Orang tua itu terlampau baik hati. Dengan setulus hatinya ia menumpahkan belas kasihannya kepadaku.

Adalah aneh sekali, bahwa aku tidak merasa tersinggung sama sekali, meskipun aku adalah orang yang paling tidak memerlukan belas kasihan orang lain. 

Setiap pagi-pagi buta aku melihat perempuan itu menghadap Tuhannya dengan tekun. Di siang, sore dan malam hari. Setiap hari aku mendengar, menyebut kasih Tuhan atas umurnya. Meskipun ia hidup dalam kesulitan, namun ia merasa tentram dan damai.

Saat yang demikian itulah yang selama hidupku tidak pernah aku jumpai. Sejak aku mempunyai seorang ayah tiri, maka aku adalah orang yang tersisih. Tersisih dari semuanya, dan aku telah kehilangan cinta sesama. Aku menjadi semakin jauh dari Tuhanku. 

Dalam kedamaian yang terpercik dari kasih orang tua itulah aku mulai berpikir, “Apakah yang hendak aku capai dengan keperkasaan, kemenangan dan tanpa tanding ini? Kalau aku telah menjadi orang yang tidak terkalahkan, lalu bagaimana? 

Aku adalah orang yang tidak ada duanya. Tetapi setiap kali aku datang, maka menjauhlah semua orang daripadaku. Setiap aku ada, maka tidak seorang pun yang datang berkunjung ke tempat itu. Setiap kali kemarahanku memang dapat aku tumpahkan dengan membunuh siapa saja yang membuat aku menjadi mata gelap. Tetapi itu sama sekali tidak menolongku. Aku justru menjadi semakin tersisih dan tersisih. 

Demikian paman, dalam perawatan perempuan tua itu aku teringat ibu. Ibu yang pasti sudah setua perempuan yang memelihara aku itu pula,” Panggiring berhenti sejenak. 

Setelah menelan ludahnya ia melanjutkan, “Akhirnya aku mendengar dari mulutnya sendiri, bahwa ia telah kehilangan anak satu-satunya. Anak itu telah dibunuh oleh seorang perampok yang paling kejam di pesisir Utara. Namanya Panggiring.” 

Untuk pertama kali aku merasa ketakutan. Aku takut bahwa orang lain dapat mengenaliku bernama Panggiring. Biasanya aku dengan bangga menengadahkan dada sambil berkata, “Akulah Panggiring.”

Tetapi terhadap perempuan tua itu aku tidak berani berbuat demikian. 

Demikian takutnya aku kepadanya, sehingga ketika luka-lukaku telah berangsur sembuh, dan aku sudah dapat bangkit dari pembaringanku, aku merayap mendekati pembaringan perempuan tua itu. Perempuan yang selalu menyayangi aku dengan ketakutan itu harus aku bunuh selagi ia tidur.

Tetapi aku tidak dapat melakukannya paman. Tanganku yang telah sekian puluh kali aku pergunakan untuk membunuh, tiba-tiba menjadi seakan-akan membeku. 

Bahkan aku menjadi seperti orang gila. Aku guncang-guncang tubuhnya yang telah berkerut-kerut itu sambil berteriak-teriak. “Ini aku Panggiring Nyai. Aku Panggiring yang telah membunuh anakmu. Kenapa kau tidak membiarkan aku mati saja? Kenapa?” 

Perempuan tua itu terperanjat. Namun kemudian dengan tenang ia bangkit dan duduk di pembaringannya. 

“Kenapa kau?” 

“Bukankah anakmu laki-laki yang tunggal itu telah dibunuh oleh Panggiring, sehingga hidup Nyai menjadi begini pahit? Nah akulah orang yang bernama Panggiring itu. Aku Nyai. Aku. Sekarang Nyai dapat membunuh aku dengan cara yang kau pilih. Meracunku, atau menyobek lukaku ini kembali.” 

Perempuan itu termenung sejenak, dan aku teriak lagi, “Akulah Panggiring, apakah kau dengar?” 

Aku menjadi semakin terperanjat ketika perempuan itu menjawab, “Ya, aku sudah tahu bahwa kau Panggiring. Kenapa?” 

Aku tidak dapat mengerti, kenapa ia tidak membunuhku atau membiarkan aku mati. Dan aku masih mendengar ia berkata, “Aku mengerti kalau kaulah yang bernama Panggiring itu sebenarnya. Dan aku sadar, bahwa kau jugalah yang telah membunuh anakku itu sejak kau berbaring di padang itu.” 

“Darimana kau tahu?” aku bertanya. 

“Ikat pinggangmu. Semua orang tahu, bahwa tanda itu adalah tanda seorang yang bernama Panggiring. Sebuah Candi.” 

Tubuh Panggiring menjadi gemetar karenanya. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Kalau Nyai tahu bahwa aku Panggiring yang telah membunuh anakmu, kenapa kau menolongku.” 

Perempuan itu tersenyum betapapun pahitnya, “Yah,” ia berdesah, “Apakah maksudmu, aku harus mendendam dan membalas setiap pembunuhan dengan pembunuhan betapapun caranya?” 

Aku tidak dapat menyahut. 

“Tuhan tidak mengajarkan demikian. Dan aku adalah hamba Tuhan yang harus berusaha sejauh mungkin dapat melakukan petunjuk-Nya.” 

Jawaban itu serasa ujung duri yang menyentuh-nyentuh dinding jantung. Tajam sekali. Dan perempuan itu berkata, “Dan setiap pembunuhan tidak akan dibenarkan oleh Tuhan, apapun alasannya.” 

Ternyata luka di dalam hati ini jauh lebih pedih dari luka-luka ditubuhku. Karena itu untuk melepaskannya aku berteriak, “Omong kosong. Omong kosong. Aku sudah membunuh puluhan orang. Dan aku tidak pernah mendapat kutukan apapun. Aku berkuasa karena aku membunuh.” 

Tetapi perempuan tua itu tersenyum. Katanya, Pandanganmu memang terlampau sempit Panggiring. Kau hanya memandang dunia yang kasat mata ini saja. Kau tidak pernah melihat jauh ke seberang hidupmu yang sekarang.”

“Buat apa aku memandang ke daerah yang tidak aku hayati. Dunia yang hanya terbayang di dalam teka-teki dan sekadar untuk menakut-nakuti anak yang nakal?” 

Perempuan itu malah tertawa. Katanya, “Kau memang masih sakit. Luka-lukamu masih basah dan setiap saat dapat berdarah kembali. Berbaringlah dan beristirahatlah. Kau akan menjadi lekas sembuh.” 

“Tidak. Aku tidak mau mendengar omong kosongmu itu.” 

“Tidurlah.” 

Dan aku sama sekali tidak dapat melawannya. Melawan tenaga tuanya itu, ketika aku didorongnya kembali ke pembaringanku, sebuah amben bambu yang berderit-derit. 

“Kau tidak hanya sekadar luka-luka ditubuhmu, tetapi kau mendapat luka yang cukup parah. Dihatimu,” desis perempuan tua itu dekat ditelingaku, “Kenapa?” 

Aku tidak menjawab. 

“Hatiku juga luka karena aku kematian anakku satu-satunya. Tetapi aku dekat dengan tabib Yang Maha Pandai. Lukaku berhasil disembuhkannya.” 

“Siapa tabib itu?” 

“Tuhan. Tuhan mampu mengobati luka di hati. Aku telah diobati-Nya sehingga sembuh sama sekali. Karena aku tidak mendendammu. Kalau kau mau mendekat dan memohon, kau pun akan diobati-Nya. Cobalah,” perempuan tua itu berhenti sejenak, lalu di bertanya, “Kenapa kau luka di hati?” 

Sekali lagi aku tidak dapat melawan, dan aku berceritera tentang diriku. Tentang ibuku dan ayahku. Tentang kematian ayah dan kemudian tentang seorang ayah tiri. Bagaimana aku hidup di neraka dan kemudian aku harus pergi meninggalkan semuanya yang aku cintai. Ibuku, adikku dan kampung halaman ini.

“Kau memang sakit anakku,” desah perempuan tua itu. “Karena itu kau harus mohon untuk disembuhkan-Nya. Lahir dan batinmu. Tubuh dan nyawamu yang memang sedang sakit.” 

Aku tidak dapat menolak kata-katanya. Meskipun aku tidak berbuat apa-apa, tetapi setiap kali aku melihat orang tua itu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan doa. Setiap kali. Dan yang setiap kali itu seperti titik air di atas batu yang betapapun kerasnya,” Panggiring berhenti pula sejenak. Kepalanya menjadi semakin tertunduk. Di sampingnya Ki Tambi duduk terpekur. Terbayang dipelupuk matanya apa yang telah terjadi atas Panggiring. Berurutan, sejak kanak-kanaknya. Sebagai seorang tetangga yang dekat dari keluarga Panggiring, ia tahu benar apa yang telah terjadi. Persoalan-persoalan yang telah mendorong Panggiring sehingga ia telah membenci keadaan disekitarnya. 

“Paman,” suara Panggiring merendah. “Ketika aku sembuh sama sekali dari luka-luka di tubuh, ternyata aku telah mengambil suatu keputusan, bahwa luka-luka di hati inipun harus sembuh pula. Karena itulah maka aku telah meletakkan semua senjataku. Dan aku memutuskan untuk pulang.” 

Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Jadikanlah semua lelakon itu sebuah pengalaman yang dahsyat. Namun pada akhirnya kau berhasil meloncat keluar dari dalam belenggu itu.” 

Panggiring masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Paman, apakah aku belum terlambat?” 

“O, tidak ada keterlambatan selagi kau masih dapat mengucapkan di dalam hati dan dari mulutmu, bahwa kau memang telah bertaubat dan mengakui segala kesalahan. Pintu rumah Tuhan selalu dibuka bagi mereka yang datang kepada-Nya.” 

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Perempuan tua itu pun berkata begitu. Tetapi apakah aku masih akan dapat tidur nyenyak di malam hari, apabila aku selalu ingat bahwa tangan ini pernah membunuh puluhan orang.” 

“Itu termasuk luka-luka yang akan dapat disembuhkan-Nya apabila kau benar-benar mendekat kepada-Nya.”

“Paman,” suara Panggiring menjadi lambat, “Aku ingin kembali ke kampung ini. Tetapi aku tidak berani langsung datang menemui ibu. Aku memang sudah menyangka, bahwa seluruh Kademangan telah mendengar apa yang telah kau lakukan. Karena itu, aku minta tolong kepadamu paman.”

“Tentu, tentu aku akan menolongnya. Maksudmu agar aku menyampaikannya kepada ibumu bahwa kau akan pulang?” 

“Ya,” sahut Panggiring. “Bukankah Bramanti sekarang sudah ada di rumah pula?” 

“Darimana kau tahu?” 

Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Sudah beberapa hari aku berkeliaran di Kademangan ini seperti sesosok hantu di malam hari. Aku takut bertemu dengan siapapun karena aku merasa betapa kotornya tanganku. Satu-satunya orang yang dapat mengerti tentang aku adalah paman Tambi. Dan baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu.” 

Ki Tambi mengerutkan keningnya, “Tetapi apakah kau tahu bahwa Bramanti pernah meninggalkan Kademangan ini?” 

“Ya. Aku mendengar banyak tentang Kademangan ini. Orang-orangku kadang-kadang ke Kademangan ini, sehingga aku pun tahu bahwa Kademangan ini sering diperas oleh orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat. Karena itulah maka aku telah mengirimkan seseorang untuk mencoba mencegah perbuatan Panembahan Sekar Jagat. Tetapi agaknya ia menolak dan bahkan memberikan tantangan itu.” 

“Jadi orang-orangmu sering juga berkeliaran di sini?” 

“Tidak paman. Hanya kadang-kadang apabila aku menyuruh mereka. Kadang-kadang aku merasa rindu kepada kampung halaman. Karena itu, aku mengirimkan orang untuk mengetahui, apakah yang telah terjadi di kampung halaman. Apakah yang telah terjadi dengan ibu, adikku dan orang-orang yang aku kenal di Kademangan ini.” 

Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Pada dasarnya Panggiring bukan seorang yang jahat. Tetapi ia telah dibentuk oleh keadaan dan mendorongnya ke dunianya yang hitam kelam.” 

“Paman,” berkata Panggiring kemudian, “Aku minta tolong kepadamu. Katakanlah kepada ibu dan Bramanti bahwa aku akan pulang kembali. Aku minta ibu dan Bramanti merelakan sebidang tanah yang sempit saja aku untuk membangun sebuah gubug. Aku akan tinggal di dalam gubug itu sebagai manusia biasa. Sebagai seorang warga Kademangan ini. Aku masih kuat untuk bekerja apapun. Mungkin seseorang mau mengupah aku untuk bekerja di sawah, atau bekerja apapun. Menebang kayu dan mungkin juga mengangkut barang-barang yang akan diperdagangan.” 

Terasa dada Ki Tambi menjadi sesak. Seorang yang bernama Panggiring, yang pernah menjelajahi pantai Utara, kini bersedia untuk menjadi seorang upahan.

Namun dengan demikian, Panggiring sudah mendekati kesembuhannya. Meskipun demikian sikap itu telah membangunkan perasaan hari di dalam dada Ki Tambi.

“Ya, ya Panggiring,” jawab Ki Tambi. “Aku akan menemui ibumu dan Bramanti. Aku akan menyampaikan maksudmu, bahwa kau memerlukan beberapa jengkal tanah untuk sebuah gubug kecil.” 

“Ya paman. Aku minta kemurahan hati mereka.” 

Ki Tambi menepuk bahu Panggiring. Sentuhan pada tubuh itu masih terasa betapa asingnya, seakan-akan tangannya telah menyentuh sekeping besi. Tetapi di dalam tubuh yang masih mengeras itu, tersimpan hati yang sudah menjadi cair. 

“Apakah kau akan menemui mereka sekarang?” 

“Aku tidak berani paman. Kalau paman tidak berkeberatan, biarlah paman sajalah yang menyampaikan pada mereka. Aku akan menunggu keterangan dari paman.” 

“Lalu dimanakah kau tinggal selama ini.” 

“Aku berada di hutan disebelah kali Kuning.” 

Tambi mengerutkan keningnya, “Di hutan?” 

“Sudah terlampau biasa bagiku, tinggal dimanapun juga.”

“Bagaimana kau makan?” 

“Di hutan itu ada buah-buahan. Dan aku mempunyai bekal beberapa kepeng, yang dapat aku tukarkan dengan kebutuhan sehari-hari.” 

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak akan heran apabila Panggiring mempunyai bekal yang cukup, karena selama ini Panggiring telah berhasil mengumpulkan apa saja yang tidak dapat dibayangkan dan dihitung dengan bilangan.

Agaknya Panggiring merasakan geteran di dalam hati Ki Tambi itu, sehingga ia berkata seterusnya, “Tetapi aku tidak membawa bekal terlalu banyak. Cukup untuk hidup beberapa hari sambil mencari makanan di sela-sela pepohonan hutan.” 

“Lalu, lalu……,” Ki Tambi ragu-ragu.

“Maksud paman, segala macam harta benda itu?” 

Ki Tambi menganggukkan kepalanya. 

“Aku tidak ingin memiliki lagi. Semuanya telah aku timbun di dalam goa. Tidak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan orang-orangkupun tidak mengetahuinya pula.” 

Ki Tambi mengangguk-angguk pula.

“Harta itu ternyata bukan hakku. Karena itu, seandainya aku ingin memilikinya, aku tidak akan dapat menikmatinya. Semuanya pasti akan membuat aku selalu gelisah dan berdebar-debar. Pada akhirnya aku merasa, alangkah tentram hidup seseorang yang mendapat makan dan minumnya sehari-hari atas hasil jerih payahnya. Tidak berarti kita menjadi seorang yang kaya raya, hendaknya kekayaan itu kita temukan lewat jalan yang seharusnya. Tidak seperti cara yang pernah aku tempuh itu.” 

Ki Tambi mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. 
“Nah, paman. Aku kira aku sudah cukup lama berbicara dan berceritera. Aku mengharap bahwa paman akan dapat menolongku. Aku mengharap ibu dan Bramanti sudi menerima aku dan memberiku secercah tanah untuk tempat tinggal.” 

“Aku akan berusaha Panggiring. Tetapi apakah tidak sebaiknya kau tinggal di rumahku?” 

“Jangan paman. Aku rasa belum saatnya aku berjumpa dengan siapapun. Aku memang mengelakkan semua pertemuan selain dengan paman.” 

Ki Tambi mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Kalau begitu sudah menjadi pendirianmu, terserahlah Panggiring. Tetapi pintu rumahku selalu terbuka. Setiap saat kau dapat memasukinya.” 

“Terima kasih paman. Sekarang perkenankan aku pergi. Aku akan menemui paman disini lain kali untuk mendengar, apakah permintaanku dapat diterima oleh ibu dan Bramanti.” 

“Baik Panggiring. Aku sering menyusur air di parit ini.” 

Panggiring pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah menyusur parit menembus gelapnya malam. Semakin lama semakin kabur di dalam wajah malam yang hitam. 

Ki Tambi yang sudah bangkit berdiri pula menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menyangka, bahwa malam ini ia akan bertemu dengan Panggiring. Bahkan ia hampir memastikan bahwa sepanjang umurnya Panggiring tidak akan menginjak kampung halamannya kembali. Tetapi ternyata dugaannya itu salah. Pada suatu saat Panggiring telah terguncang dari dunianya, dan terlempar ke dalam kesadaran yang bening.

Perlahan-lahan Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun meninggalkan sawahnya yang telah penuh dengan air setelah ia menutup kembali pematang yang disobeknya. 

Tengah malam menjadi semakin jauh di belakang. Bintang-bintang telah bergeser ke Barat. Ketika tanpa sesadarnya Ki Tambi memandang ke langit di sebelah Timur, ia melihat bintang Panjer Rina yang cemerlang. 

“Hem,” Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. “Persoalan Panggiring bukanlah persoalan yang mudah diselesaikan. Sikap Bramanti terhadapnya tidak menguntungkan. Tetapi aku harus menjelaskan, bahwa Panggiring telah berubah. Panggiring telah menjadi Panggiring yang lain.” 

Sambil melangkahkan kakinya Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. 

“Aku harus berusaha,” desisnya, meskipun ia menyadari bahwa ia pasti akan menemui kesulitan.

Ki Tambi melangkah terus sambil merenung. Terasa dingin malam menembus kulitnya, sedang pedut yang tipis mengambang semakin merendah. 

Sementara itu, anak-anak muda di Kademangan semakin lama menjadi semakin diam. Hanya tinggal satu dua saja di antara mereka yang masih bercakap-cakap. Sebagian besar, telah terbaring di atas tikar pandan di pendapa. Bahkan banyak di antara mereka yang telah tertidur nyenyak.

Tetapi Bramanti masih duduk di gardu sambil mengusap-usap dagunya. Di sampingnya Temunggul duduk bersandar tiang. Dua pengawal yang lain masih juga duduk berjuntai di bibir gardu.

“Agaknya Ki Tambi malam ini tidak datang,” desis Temunggul. 

“Ya. Mungkin ia terlalu lelah,” jawab Bramanti. 

“Atau mungkin pergi ke sawah.” 

“Tetapi setiap kali ia pergi ke sawah, ia selalu singgah kemari.” 

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya sambil berkata, “Aku akan menengok ke sawahnya.” 

“Kalau ia pergi ke sawah ia akan datang kemari.” 

“Kalau begitu ke rumahnya. Mudah-mudahan ia tidak menemui bahaya apapun.” 

“Aku kira tidak perlu Temunggul,” berkata Bramanti.

“Ki Tambi sudah cukup dewasa, sehingga ia akan mampu menjaga dirinya sendiri.” 

“Aku percaya. Tetapi seandainya ia tengah berada di sawah, kemudian disergap oleh beberapa orang Panembahan Sekar Jagat yang mendendam para pengawal Kademangan ini?” 

Bramanti mengerutkan keningnya, “Memang mungkin,” desisnya, “Kalau begitu biarlah aku saja yang menengoknya. Aku sudah terlampau lelah duduk disini.” 

“Kenapa harus kau? Biarlah kau disini. Kau harus berada di tempat ini setiap saat, sehingga apabila diperlukan, anak-anak tidak usah mencari-cari kau dimana-mana. Biarlah aku saja yang menengoknya.” 

“Tetapi bagaimana dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu?” 

“Aku akan membawa kentongan kecil ini.” 

Bramanti mengerutkan keningnya. 

“Tetapi,” Temunggul berkata kemudian, “Kalau aku tidak segera kembali, sebaiknya kau pun mencari aku ke sudut desa atau ke simpang tiga.” 

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak mempunyai prasangka apapun, sehingga karena itu, maka ia tidak berpikir lebih dari sewajarnya. 

“Kalau begitu terserahlah.”  “Jangan lupa. Kalau aku tidak segera kembali.” 

Temunggul pun kemudian meninggalkan halaman Kademangan. Perlahan-lahan tangannya meraba belati yang disimpannya dibawah bajunya. Dengan belati itu ia akan dapat bergerak cepat tanpa dicurigainya lebih dahulu. Ia harus menusukkan pisau itu sekaligus tepat menyentuh jantung. 

Temunggul pernah mempelajari, bagaimana ia harus menusuk seseorang langsung mengenai jantung. Dan ia sampai saat ini masih memahaminya benar-benar. 

“Aku dapat memancingnya,” desisnya. “Kemudian mencari kesempatan untuk menikamnya. Ia tidak akan menyangka, bahwa aku menunggunya ditikungan di tenah pedesaan itu. Karena itu Bramanti tidak boleh berteriak atau mengeluh.” 

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Langkahnya pun dipercepat supaya ia segera sampai ke tingkungan, di bawah sebatang pohon ketapang yang besar disudut tikungan itu. 

“Ia akan lewat disini. Aku harus meloncat langsung menikamnya. Kalau tidak aku pasti akan gagal. Gagal sama sekali, karena Bramanti memang bukan lawanku.” 

Temunggul pun kemudian berjalan semakin cepat lagi. Ketika ia sampai ditikungan segera ia mencari tempat yang baik. Yang terlindung, tetapi tidak terhalang apabila ia ingin meloncat. Loncatannya harus mencapai segala tempat ditikungan itu, dimana pun Bramanti akan lewat. 

Dengan dada yang berdebar-debar Temunggul duduk meringkuk dipersembunyiannya. Ia sama sekali tidak memperdulikannya nyamuk dan semut menggigit kaki dan tengkuknya. Kalau ia tidak segera kembali ke Kademangan, maka Bramanti pun akan segera menyusulnya. 

“Adalah suatu kebetulan, bahwa malam ini Ki Tambi tidak datang ke Kademangan, sehingga aku mempunyai alasan untuk menjebaknya,” berkata Temunggul di dalam hatinya. “Tentu tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa akulah yang membunuhnya. Aku akan kembali ke Kademangan dan bertanya kepada para peronda, apakah Bramanti tidak pergi menyusul aku? Aku mengharap bahwa arah tuduhan setiap orang Kademangan ini tertuju kepada Panembahan Sekar Jagat.” 

Temunggul tersenyum sendiri.

“Aku harus bersabar menunggu disini. Mudah-mudahan tidak segera pergi. “Namun bintang Panjer Rina di Timur telah membuat jantungnya menjadi berdebar-debar. 

Sepeninggalan Temunggul, Bramanti turun dari gardu peronda di regol halaman Kademangan. Untuk menghilangkan kantuknya ia berjalan-jalan di halaman. Kemudian ia pergi ke regol butulan di belakang. Tiga di antara lima orang yang berada di gardu itu telah tertidur. 

“Apakah kalian berganti-gantian bangun?” bertanya Bramanti. 

“Ya. Itu akan lebih baik daripada kita bangun bersama-sama, tetapi kemudian juga tidur bersama-sama.” 

Bramanti tersenyum. Ditinggalkannya gardu itu. Langkahnya satu-satu berdesir di atas dedaunan kering yang berguguran di tangkainya. 

Ketika ia sampai di gardu depan, Temunggul masih belum tampak kembali. Karena itu maka ia pun segera bertanya kepada para pengawal yang masih duduk di gardu itu. “Apakah Temunggul belum datang?” 

“Belum,” jawab mereka sambil menggeleng. 

Bramanti mengerutkan keningnya. Desisnya, “Ia pasti baru sampai ke sawah paman Tambi.” 

Bramanti pun kemudian naik ke gardu itu pula bersandar dinding. Pandangan matanya jauh menerawang kedalam gelapnya malam. Tetapi ia tidak melihat sesuatu selain pelita dikejauhan, obor dan lampu di pendapa. 

Tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Mungkin dugaan Temunggul itu benar. Karena dugaan itu memang bukan tidak berdasar. Karena itu maka ia pun menyesal, bahwa ia tidak pergi bersama Temunggul. 

“Aku akan menyusul,” berkata Bramanti kemudian kepada para pengawal.  “Kemana?” 

“Ke sawah. Kalau ia lama tidak segera kembali, aku harus mencarinya ke sudut desa atau ke simpang tiga. Tetapi kalau di tempat itu pun Temunggul tidak ada, aku harus mencarinya ke sawah paman Tambi. Mungkin ia pergi ke sana, tetapi mungkin pula bahwa ia tidak dapat meninggalkan tempat itu, seperti juga Ki Tambi, sebelum ia sempat menyembunyikan tanda-tanda itu,” Bramanti berhenti sejenak kemudian, “Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi hal serupa itu. Itu hanya sekadar bentuk yang paling tajam dari kecemasanku saja.” 

Para pengawal yang ada di dalam gardu itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka berkata, “Apakah kau tidak membawa satu dua orang kawan?” 

Bramanti menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau misalnya aku harus lari, maka aku hanya akan melarikan diriku sendiri tanpa mendukung orang lain.”

Pengawal itu pun tertawa pula. Katanya, “He, jadi kau sangka bahwa kami hanya akan mampu berlari-lari?” Kalau demikian aku adalah orang yang paling cepat berlomba lari di Kademangan ini”.

“Ada bedanya,” jawab Bramanti. “Lari dalam adu kecepatan di halaman Kademangan atau di halaman Ki Tanu, dikejar oleh Panembahan Sekar Jagat.”

Pengawal itu bersungut-sungut.

“Tinggallah disini. Kalau Temunggul kembali, katakan aku sedang menyusulnya. Tetapi ia tidak perlu mencari aku. Sebaiknya ia tetap berada di halaman ini. Sebentar lagi fajar akan datang.

Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Bramanti pun kemudian melangkah keluar regol halaman. Sejenak ia berdiri di dalam gelapnya malam menghirup udara yang sejuk. Kemudian langkahnya pun terayun di sepanjang jalan keluar induk desa Kademangan Candi Sari untuk menyusul Temunggul.

Bramanti sama sekali tidak menyangka bahwa Temunggul sedang bersembunyi di balik sebatang pohon ketapang yang besar di tikungan. Justru di dalam desa itu. Karena itu, maka ia pun sama sekali tidak memperhatikan kemungkinan yang demikian.

Temunggul yang bersembunyi dibalik pohon ketapang itu pun menjadi hampir kehilangan kesabaran. Dengan gelisah ia berjongkok, kemudian berdiri sambil menarik nafas, menunggu Bramanti lewat menyusulnya.

“Mudah-mudahan ia seorang diri. Kalau ia membawa seorang kawan pun maka renana ini akan gagal, kecuali aku yakin bahwa aku mampu membunuh kawannya itu sama sekali, sehingga tidak akan ada seorang saksipun yang hidup.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Gigitan nyamuk di tubuhnya menjadi semakin banyak, dan bahkan semut hitam telah mulai merubung kakinya.

“Persetan,” desisnya.

Bramanti berjalan di jalan desa itu sambil menengadahkan wajahnya. Dari sela-sela dedaunan di sebelah menyebelah jalan ia menatap langit yang bersih. Bintang-bintang masih bergayutan di langit yang biru kehitam-hitaman.

Sekali-kali Bramanti mendengar bunyi burung malam memekik dikejauhan. Kemudian salak anjing liar berebut makan.

Tiba-tiba Bramanti merasakan desau angin yang kencang menyapu wajahnya, sehingga langkahnya tertegun sejenak. Sekilas sinar menyambar di langit. Hanya sekejap.

Bramanti heran. Langit yang tampak bersih itu telah melontarkan kilat yang diikuti oleh suara gemuruh dikejauhan. Jauh sekali.

Bramanti kemudian mempercepat langkahnya. Awan yang kelabu yang menebar di langit akan dapat datang dengan cepat ke atas Kademangan ini pula. Mudah-mudahan tidak segera turun hujan.

Dan dugaan Bramanti pun ternyata tepat. Sebentar kemudian mendung yang didorong angin dari selatan, bergerak-gerak di wajah langit menyaput bintang gemintang yang tersebar.

Langkah Bramanti pun menjadi semakin cepat pula. Namun dengan demikian, maka ia semakin kehilangan perhatian terhadap keadaan disekitarnya. Juga terhadap sebatang pohon ketapang ditikungan.

Temunggul hampir menjadi jemu menunggu. Di dalam hatinya ia berkata, “Kali ini aku gagal. Tetapi hari masih panjang. Aku akan segera mendapat kesempatan di suatu saat yang lain.”

Namun tiba-tiba hatinya menjadi berdebar-debar. Ia mendengar seseorang mendehem. Ketika ia berusaha menembus gelapnya malam, ia melihat sesosok bayangan berjalan ke tikungan.

Temunggul menjadi semakin berdebar-debar dan bahkan wajahnya menegang. Bayangan yang datang itu justru dari arah yang lain dari yang diharapkannya.

“He, siapa orang itu?”

Orang itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Ketika orang itu mendehem sekali lagi. Temunggul pasti, bahwa orang itu sama sekali bukan orang yang diharapkan. Bahkan kemudian ia mengenal orang itu, orang yang akan disusulnya ke sawah seperti yang dikatakan kepada Bramanti.

“Ki Tambi,” desisnya, “Darimana orang itu?”

Denyut jantung Temunggul serasa telah melonjak. Kalau orang itu pergi ke Kademangan, maka Bramanti tidak akan lewat jalan ini seorang diri. Bramanti pasti mengatakan kepada orang tua itu tentang dirinya, dan mereka akan bersama-sama mencarinya.

“Persetan orang tua bodoh itu,” Temunggul mengumpat-umpat di dalam hatinya. “Apakah orang tua ini saja yang aku bunuh sekarang? Ia termasuk salah seorang yang ikut bertanggung jawab atas perlawanan Kademangan ini terhadap Panembahan Sekar Jagat.” 

Namun kemudian, “Tetapi aku tidak mendapat manfaat apa-apa. Orang tua itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Ratri. Bahkan dengan demikian Bramanti akan menjadi semakin berhati-hati.” 

Tidak habis-habisnya Temunggul mengumpat-umpat di dalam hatinya. Nafasnya justru menjadi terengah-engah, betapapun ia menahan agar Ki Tambi yang kemudian lewat dibawah pohon ketapang itu tidak mendengarnya. 

“Tidak ada gunanya aku menunggu Bramanti lewat disini,” desisnya. “Lebih baik aku keluar dari neraka yang penuh dengan binatang-binatang buas ini.”

Namun Temunggul itu mengumpat semakin menjadi-jadi di dalam hati. Belum lagi sepuluh langkah, Ki Tambi tertegun. Kemudian Temunggul mendengar suara Bramanti menyapanya,

“Kau paman?” 

“He, kemana kau Bramanti?” 

Temunggul menggeretakkan giginya. “Kalau orang tua gila itu tidak lewat dijalan ini pula, Bramanti pasti sudah menjadi mayat.” 

Dan kini Temunggul masih harus tetap bersembunyi di belakang pohon ketapang yang penuh dengan nyamuk dan semut-semut yang semakin banyak. 

“Aku mencari Temunggul,” jawab Bramanti.  “Kemana anak itu?” 

“Temunggul mencemaskan Ki Tambi. Biasanya Ki Tambi pasti datang ke Kademangan. Malam ini tidak. Karena itu, Temunggul ingin menengok paman ke sawah.” 

“He, apakah seandainya aku tidak datang semalam aku sudah dapat dianggap memberontak?” 

Bramanti tertawa, “Bukan begitu paman,” katanya, “Tetapi Temunggul menjadi cemas, kalau-kalau tiba-tiba saja paman disergap oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat, atau malahan Panembahan itu sendiri.”

“He, apakah Temunggul akan menolong aku dan membunuh Sekar Jagat?” 

Bramanti masih tertawa. Jawabnya, “Tetapi maksudnya baik paman. Ia membawa kentongan kecil. Kalau terjadi sesuatu ia dapat memberi tanda kepada kami disini.” 

Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Kau sekarang akan mencarinya?” 

“Ya.” “Tidak ada apa-apa di sawah. Aku datang dari sawah. Tidak ada Panembahan Sekar Jagat, tidak ada Wanda Geni dan tidak apapun juga.” 

“Paman berada di sawah sampai hampir fajar begini?” 

“Ya. Airnya tidak begitu lancar. Aku menunggu sampai sawahku penuh. Dan…” Ki Tambi berhenti sejenak. 

“Dan…” 

“Tidak apa-apa. Tetapi aku kira kau tidak usah mencari Temunggul. Ia akan kembali lagi ke Kademangan.” 

Sementara itu Temunggul mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Bramanti dan Ki Tambi justru bercakap-cakap beberapa langkah saja dari pohon Ketapang itu. 

“Sungguh gila,” ia menggeram di dalam hatinya. “Kakiku sudah menjadi panas digigit semut. Tidak saja semut hitam, tetapi pasti ada semut merah pula.” Apalagi ketika ia membayangkan seekor ular yang mungkin tinggal di dalam liang dibawah akar-akar pohon ketapang ini pula. 

“Setan, kenapa mereka tidak juga segera pergi?” 

Tetapi Bramanti dan Ki Tambi masih juga bercakap-cakap, justru tentang diri Temunggul. 

Keringat dingin telah mengalir memenuhi tubuhnya. Kekecewaan, kejengkelan, dan segala macam perasaan panas, gatal dan pedih bercampur baur pada kulitnya.

“Setan, setan,” ia mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. 

Dan ia masih dipaksa mendengar Bramanti berkata, “Tetapi biarlah aku berjalan-jalan Ki Tambi. Mungkin ia sengaja menunggu aku disudut desa, atau dimanapun.”

Ki Tambi tertawa, “Mungkin ia pergi ke gardu-gardu peronda.” 

“Mungkin.” 

“Ternyata Temunggul adalah anak yang cakap,” Ki Tambi kemudian berdesis.

“Ya,” jawab Bramanti. “Ia telah berhasil menyusun penjagaan yang kuat dan rapi. Aku hormat kepadanya. Jarang sekali anak-anak semuda itu mampu memegang pimpinan demikian tertib.” 

“Kau bagaimana?” bertanya Tambi. 

“Ah,” desis Bramanti. “Aku kira aku tidak akan dapat serapi Temunggul. Jaring-jaring yang dipasangnya cukup rapat tanpa melepaskan tenaga terlampau banyak. Caranya memimpin pun cukup baik. Tanpa diperintah lagi, anak-anak setiap hari pergi ke Kademangan.” 

“Ia akan dapat menjadi pimpinan yang baik kelak,” desis Ki Tambi. 

“Mudah-mudahan,” jawab Bramanti. 

“Kenapa mudah-mudahan?” bertanya Ki Tambi. 

“Tidak apa-apa.” 

Ki Tambi tersenyum. “Aku mengerti. Tetapi bukan watak Temunggul itu melepaskan sifat-sifatnya hanya karena masalah-masalah yang tidak berarti sama sekali bagi Kademangannya. Aku mengenalnya dengan baik. Anak itu dapat membedakan, yang manakah yang lebih penting bagi Kademangan ini. Ini bukan seseorang yang mementingkan dirinya sendiri.” 

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Ki Tambi. Selama ini Temunggul masih tetap didalam tugasnya, meskipun membayang juga kekecewaan yang membelit hatinya. 

Temunggul yang mendengar percakapan itu dari balik pohon ketapang menjadi semakin berdebar-debar. Tanpa disengaja ia mendengar kedua orang itu senang menilainya. Dan setiap kali dadanya berdesir apabila sebuah pertanyaan melonjak dihatinya, “Apakah benar aku mempunyai sifat yang baik seperti yang dikatakan Ki Tambi itu? Apakah benar aku lebih mementingkan Kademangan ini daripada diriku sendiri?” 

Tiba-tiba Temunggul menundukkan kepalanya. Kini perasaan sakit dan gatal-gatal seakan-akan lenyap. Segenap perhatiannya sedang tertumpah kepada dirinya sendiri. Kepada penilaian yang telah diberikan oleh Ki Tambi dan Bramanti yang sedang ditunggunya dengan sebilah pisau belati yang akan dihunjam-kannya langsung kejantungnya. 

Temunggul itu pun kemudian tidak mengerti, kapan Bramanti dan Ki Tambi saling berpisah. Ia menyadari keadaan pada saat Bramanti terbatuk-batuk beberapa langkah daripadanya justru berjalan ke arah yang berlawanan dengan Ki Tambi. Lamat-lamat Temunggul masih melihat di arah yang berbeda-beda, keduanya semakin kabur di dalam gelapnya malam. 

Sejenak Temunggul masih tetap ditempatnya. Ia ingin meyakinkan bahwa Bramanti dan Ki Tambi telah semakin jauh dari pohon ketapang itu. 

Ketika ia sudah tidak mendengar apapun lagi, barulah Temunggul keluar dari persembunyiannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia mengibas-ibaskan pakaiannya. 

Tetapi Temunggul sudah tidak mengumpat-umpat lagi. Dengan sungguh-sungguh ia sedang berpikir. Berpikir tentang dirinya sendiri, tentang sikap Ki Demang dan tentang percakapan Ki Tambi dan Bramanti. 

“Aku menjadi bingung,” desisnya. 

Terbayang wajah Ki Demang yang kecewa menanggapi keadaan. Kemudian wajah Ki Tambi yang dilukiskan oleh garis-garis yang tegas, meskipun umurnya menjadi semakin tua. Kedua orang itu telah memberikan warna yang berlawanan bagi Kademangan ini menghadapi Panembahan Sekar Jagat. 

“Seluruh Kademangan ini menggantungkan harapannya kepada Bramanti,” desisnya, “Tetapi kenapa Ki Demang meng-harapkan anak itu tersingkirkan?” 

Temunggul menjadi ragu-ragu. 

Dan tiba-tiba ia bertanya kepada dirinya sendiri, “Kenapa aku begitu mudah dibujuknya? O, alangkah bodohnya aku. Aku menyangka, bahwa setelah Bramanti, Ki Tambi dan orang-orang lain seperti Panjang, Suwela dan kawan-kawannya, aku akan dapat dengan mudah menyingkirkan Ki Demang itu sendiri? Alangkah bodohnya aku ini. Ki Demang adalah orang yang cukup mempunyai pengalaman. Namun permintaannya kali ini merupakan suatu permintaan yang aneh. Sangat aneh. Baru sekarang aku menyadarinya. Baru sekarang aku merasa bahwa kekecewaanku atas Ratri telah dimanfaatkannya dengan baik.”

Temunggul menjadi bersungguh-sungguh, “Aku memang terlalu bodoh. Hampir saja aku kehilangan kepribadianku karena Ki Demang berhasil menggelitik perasaanku dengan Ratri. Untunglah semuanya belum terjadi,” Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Tetapi aku harus mengetahui, apakah sebabnya Ki Demang berbuat demikian.” 

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia pun segera melangkahkan kakinya menyusul Bramanti yang justru sedang mencarinya. 

Bulu-bulu tengkuknya meremang ketika dikejauhan ia mendengar suara anjing-anjing liar menyalak. Kemudian lamat-lamat terdengar suara burung hantu yang ngelangut. 

Namun disela-sela langkahnya yang tergesa-gesa Temunggul seolah-olah telah menemukan dirinya kembali setelah beberapa saat ia terbius oleh mimpi yang dihembuskan oleh Ki Demang. Ratri, sawah, bekal menjelang kawin, kemudian dibumbuinya sendiri, menyingkirkan Ki Demang itu pula. 

“Aku wajib mengucap syukur,” desisnya, “bahwa aku belum terjerumus ke dalam jurang yang mengerikan itu,” namun Temunggul menjadi ragu-ragu, “Apakah aku harus memberitahukannya sama sekali.” 

Tetapi Temunggul itu menggeleng, “Belum. Belum waktunya. Aku masih ingin mengetahui, apakah sebenarnya maksud Ki Demang. Aku masih harus berpura-pura menerima tawarannya itu.” 

 —oSPo—–

Bersambung ke jilid 7

 

Diedit oleh Satpampelangi

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar